Jumat, 26 Februari 2016

Selasa, 19 Januari 2016

[PENTING] Racun Sianida Dalam Kehidupan Sehari-hari


Meski tubuh kita bisa mengatasi  racun sianida dalam dosis sangat rendah, sebaiknya kita menghindari makan bagian buah atau tumbuhan yang mengandung senyawa racun. Misalnya, makanlah hanya daging buah apel dan buang bagian tengah serta bijinya.
Banyak makanan kita sehari-hari ternyata mengandung racun sianida dalam jumlah yang sedikit. Mengingat racun sianida sangat berbahaya, haruskah kita membatasi atau bahkan menghentikan mengonsumsi makanan-makanan tersebut, atau ada cara lain untuk menetralisir efek negatifnya? Makanan seperti almond dan kacang lima mengandung senyawa sianida berkadar rendah. Begitupun dengan suplemen vitamin B12, ada yang mengandung sianida juga. Dalam dosis besar, sianida adalah racun yang sangat berbahaya dan pada dosis tertentu, bisa mematikan. Dosis sianida yang berbahaya, umumnya berkisar antara 50 dan 200 mg hidrogen sianida.

Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), kita bisa saja terkena racun Sianida dari berbagai sumber seperti makanan, rokok dan sumber lainnya. Secara alami, ada beberapa bahan makanan yang menghasilkan sianida dosis rendah seperti singkong, kacang lima, kacang merah, bayam, kedelai, rebung, tapioka, kecambah millet, dan almond.

Biji buah-buahan seperti aprikot, apel, dan buah persik juga diduga memiliki sejumlah besar bahan kimia yang dapat dimetabolisme menjadi sianida. Untungnya, bagian daging buah yang dapat dimakan dari buah-buahan ini mengandung jumlah senyawa racun yang jauh lebih rendah dari yang terkandung di dalam biji atau lubang bagian tengahnya.
Masih menurut CDC, meski tubuh kita bisa mengatasi racun sianida dalam dosis sangat rendah, sebaiknya kita menghindari makan bagian buah atau tumbuhan yang mengandung senyawa racun. Misalnya, makanlah hanya daging buah apel dan buang bagian tengah selta bijinya.

Mengolah Makanan Cara lain menghindari efek sianida adalah dengan mengolah makanan dengan cara yang tepat sebelum dimakan. Sebagai contoh, kacang lima mentah mengandung linamarin. Linamarin adalah suatu senyawa yang ketika dikonsumsi lalu terurai di dalam tubuh akan diubah  
hidrogen sianida. Memasak kacang lima selama 10 menit sudah cukup untuk membuatnya aman dikonsumsi. Atau kacang merah mentahyang mengandung racun phytohaemagglutinin. Ini juga bisa dinetralisir dengan cara memasaknya pada suhu didih selama 10 menit. Namun, memasak kacang merah di bawah suhu didih bisa melipatgandakan kandungan racun.

Di dalam 1.000 mikrogram vitamin B12 suplemen sianokobalamin mengandung 20 mikrogram sianida. Namun, menurut ahli gizi Jack Norris dari AS, jumlah sianida di dalam sianokobalamin, secara fisiologis aman dikonsumsi. Mikrogram adalah jumlah yang sangat kecil dibandingkan miligram, Ada 1.000 mikrogram di dalam satu miligram sehingga jumlah sianida di dalam suplemen B12 masih jauh di bawah dosis yang bisa dikatakan beracun. Sianida akan bereaksi lebih cepat jika dihirup dan karena itu lebih berbahaya. Menghirup gas sianida, ,terutama di ruang yang berventilasi buruk, memiliki potensi bahaya terbesar.

Umumnya, eksposur mematikan sianida adalah hasil dari kecelakaan alias perbuatan tidak disengaja atau bisa juga tindakan yang disengaja. Karena sifat racunnya yang sangat cepat, sianida umum digunakan dalam aksi terorisme dan pembunuhan.
penaresep.blogspot.com
Kunjungi Resep Masak Sehari-hari



Jumat, 01 Januari 2016

Dilema Etik Kedokteran; Body Farming


A.    Definisi Body Farming
Istilah body farming berasal dari 2 buah kata yaitu body dan farm. Menurut Marhiyanto dan Arifin (1998), kata body memiliki pengertian tubuh (tubuh mayat) dan farm memiliki pengertian ladang, kebun atau tanah pertanian. Body farming adalah suatu proses penyediaan fasilitas penelitian khususnya pada bidang ilmu antropologi forensik berupa laboratorium terbuka yang berisi puluhan hingga ratusan mayat manusia dan diletakkan di alam terbuka. Tujuan dilakukan body farming adalah untuk mempelajari mekanisme terjadinya dekomposisi (pembusukan) pada tubuh manusia pada kondisi yang berbeda-beda, sehingga didapatkan informasi terkait proses dan waktu kematian mayat (Killgrove, 2015).

B.     Gambaran Proses Body Farming
1.      Sejarah body farm
Pembuatan body farm pertama kali dilakukan oleh seorang konsultan forensik Dr. William M. Bass di Universitas Tennesse, Knoxville, Amerika Serikat pada tahun 1981. Penyebab pembuatanbody farm tersebut akibat tidak adanya tempat yang sesuai untuk mengamati proses dekomposisi pada mayat. Dua puluh lima tahun kemudian mulai dibuat beberapa body farm lain di Carolina University pada tahun 2006, Texas State University pada tahun 2008, Sam Houston State University pada tahun 2010, Southern Illinois University, Carbondale pada tahun 2012, Colorado Mesa University pada tahun 2013, dan masih dalam proses pembangunan di University of Technology, Sydney pada tahun 2015 (Killgrove, 2015).
2.      Prosedur dilakukannya body farming
Proses pembuatan body farm meliputi persiapan lahan, pencarian obyek penelitian (mayat manusia), proses penelitian, dan proses pencatatan hasil penelitian.
a.       Pembuatan lahan (farming)
Pembuatan body farm dilakukan di lahan terbuka (pertama kali di lahan peternakan) tanpa mengubah kondisi alam yang sebenarnya. Kondisi alam meliputi komponen tumbuhan, hewan, struktur tanah, kelembapan dan cuaca tetap dipertahankan sesuai dengan kondisi aslinya. Akses terhadap body farm terbatas pada peneliti dan pihak-pihak terkait yang memiliki kepentingan, sehingga diberikan batas-batas wilayah pada body farm agar tidak dapat diakses oleh masyarakat umum yang tidak berkepentingan (Bass dan Jefferson, 2008).
b.      Donasi mayat (human donation)
Dalam body farm, mayat yang digunakan sebagai obyek penelitian adalah mayat yang masih dalam kondisi utuh dan segar. Mayat didapatkan dari proses donasi orang-orang yang ingin mengabdikan tubuhnya atau tubuh keluarganya sebagai obyek penelitian. Proses donasi dapat dilakukan sesuai dengan persetujuan mayat pada waktu hidup atau persetujuan keluarga korban yang pada umumnya terjadi pada kasus pembunuhan, dimana pihak keluarga sadar bahwa donasi mayat yang akan dijadikan penelitian tersebut akan membantu pihak kepolisian terutama CSI (Crime Scene Investgation) dalam mengungkap kejahatan yang pernah terjadi pada mayat tersebut. Donasi mayat dilakukan tanpa adanya proses transaksi (Bass dan Jefferson, 2008).
c.       Penelitian di laboratorium body farm
Mayat-mayat hasil donasi kemudian diletakkan di berbagai titik yang memiliki kondisi alam berbeda di setiap titiknya. Sebagai contoh mayat pertama diletakkan di atas tanah dengan paparan matahari, mayat kedua diletakkan di dalam air, dan mayat yang lainnya diletakkan pada tempat yang berbeda-beda. Selanjutnya dilakukan penelitian aktivitas dekomposisi pada mayat meliputi aktivitas serangga, perubahan anatomi yang terjadi pada tubuh mayat serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses dan waktu terjadinya dekomposisi meliputi suhu, kelembapan, kondisi fisik tubuh, usia, penyebab kematian, dll. Aktivitas serangga pada proses pembusukan mayat dapat menentukan perkiraan kematian mayat (Killgrove, 2015).

d.      Pencatatan data hasil penelitian
Tahapan selanjutnya dari proses body farming adalah pencatatan hasil penelitian dan pengamatan. Perubahan-perubahan yang terjadi diobservasi, didokumentasi, dan dikategorikan sesuai kategori. Hasil penelitian akan dijadikan sumber data yang akan menjadi dasar panduan para penegak hukum dalam mengungkap kapan terjadinya kematian yang dikaitkan dengan kasus pembunuhan atau bunuh diri (Killgrove, 2015).

3.      Bagan Prosedur Body Farming


C.    Dilema Etik Body Farming Ditinjau dari Sisi Medis
Proses body farming akan banyak menimbulkan dilema dari berbagai sudut pandang. Salah satunya adalah dari sudut pandang medis atau kedokteran yang dikaitkan dengan prinsip bioetik kedokteran. Berdasarkan Konsil Kedokteran Indonesia, terdapat 4 prinsip dasar etika kedokteran (bioetika) meliputi beneficence yang berarti memberikan perlakuan dan manfaat terbaik pada pasien, non-malficeneyang berarti tidak menyakiti dan memperburuk pasien, justice yang berarti adil terhadap semua pasien dan autonomy yang berarti menghormati martabat dan otonomi pasien (Hanafiah, 1999). Ditinjau dari dasar etika kedokteran (bioetik), body farm mengedepankan prinsip boietik berupa beneficence baik bagi mayat yang bersatus sebagai pasien, keluarga mayat maupun bagi banyak orang di masa mendatang. Prinsip beneficence pada body farming menitikberatkan pada ilmu pengetahuan antropologi forensik khususnya tentang dekomposisi atau pembusukan mayat. Dengan adanya proses body farming akan diketahui berbagai mekanisme perubahan tubuh mayat setelah mengalami kematian, dimana mekanisme perubahan tersebut dapat digunakan untuk menentukan waktu kematian mayat secara lebih akurat, sehingga dapat memberikan kejelasan bagi keluarga mayat tentang kematian korban. Selanjutnya dapat dijadikan sebagai dasar ilmu pengetahuan untuk memecahkan berbagai kasus forensik khususnya kasus pembunuhan yang belum mendapatkan penyelesaian yang jelas (Bass dan Jefferson, 2008). Di samping itu, body farming juga mengedepankan prinsip autonomy, yaitu menghormati otonomi dan martabat pasien. Prinsip autonomy ini diterapkan khususnya pada proses human donation. Proses donasi mayat dilakukan sesuai dengan permintaan mayat pada waktu hidup atau sesuai dengan persetujuan keluarga terdekat mayat secara sukarela berdasarkan surat perjanjian tertentu dengan tujuan semata-mata untuk kepentingan ilmu pengetahun forensik dan hukum. Dengan adanya body farming khususnya pada kasus-kasus kriminal (pembunuhan) dapat dilakukan upaya penegakan hak-hak asasi dari mayat maupun pihak keluarga. (Killgrove, 2015).

D.    Dilema Etik Body Farming Ditinjau dari Sisi ekono-sosio kultural
Prinsip body farming juga masih menimbulkan dilema dilihat dari sisi hukum yang dikaitkan dengan ranah ekonomi, sosial dan kultural. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat atau Jaringan Tubuh Manusia (hukum.unsrat.ac.id) , disebutkan bahwa :
1.      Bab IV. Museum Anatomis dan Patologi Pasal 9 :
Untuk kepentingan pendidikan, penyelidikan penyakit, dan pengembangan ilmu kedokteran diadakan museum anatomis dan patologi yang diatur oleh Menteri Kesehatan”.
Berdasarkan pasal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pembuatan body farm boleh dilakukan karena body farm merupakan fasilitas laboratorium yang digunakan untuk kepentingan pendidikan dan pengembangan ilmu kedokteran.
2.      Bab VIII. Perbuatan yang Dilarang Pasal 17 :
“Dilarang memperjual belikan alat atau jaringan tubuh manusia.” Alat dan atau jaringan tubuh manusia sebab anugerah Tuhan Yang Maha Esa kepada setiap insan tidaklah dijadikan obyek untuk mencari keuntungan.
Berdasarkan pasal tersebut di atas, proses human donation tidak boleh diperantarai dengan adanya transaksi atau jual beli dari pihak yang berhak atas mayat dan pihak yang akan menggunakan mayat. Oleh karena itu, proses jual beli mayat yang dilakukan pada body farm dapat melanggar pasal 17 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat atau Jaringan Tubuh Manusia dan akan mendapatkan ketentuan pidana Pasal 20 yang berbunyi : 
“(1) Pelanggaran atas ketentuan dalam Bab II, Bab III, Bab V, Bab VI, Bab VII, dan Bab VIII diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 7.500 ,- (tujuh ribu lima ratus rupiah).
(2) Disamping ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat pula diambil tindakan administratif.”
3.      Bab VIII. Perbuatan yang Dilarang Pasal 19 :
Larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 18 tidak berlaku untuk keperluan penelitian ilmiah dan keperluan lain yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.”
Pasal tersebut di atas bertolak belakang dengan Pasal 17 yang melarang memperjual belikan alat atau jaringan tubuh manusia kecuali untuk penelitian ilmiah dan keperluan lain yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Namun, konteks penelitian ilmiah dan keperluan lain ini tidak jelas diuraikan, sehingga masih ada kerancuan antara Pasal 17 dan 19 terkait adanya body farming.
Dari sisi sosial-kultural, body farming tidak sesuai dengan kultur budaya masyarakat Indonesia pada umumnya. Hampir di sebagian besar daerah di Indonesia, orang yang sudah dinyatakan meninggal dunia akan segera dikuburkan sesuai dengan tuntunan agama masing-masing. Tidak ada perlakuan pada mayat yang dibiarkan begitu saja dan ditunggu hingga mengalami proses pembusukan.

E.     Dilema Etik Body Farming Ditinjau dari Perspektif Islam
Sesuai dengan syariat islam, dalam fiqih islam terdapat kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan pada mayat (Muhammad, 2002), yaitu :
1.      Memandikan mayat
Memandikan mayat hukumnya fardhu kifayah bagi orang yang hidup. Apabila sebagian dari mereka melakukannya, maka gugurlah kewajiban tersebut dari yang lain. Syarat-syarat mayat wajib dimandikan adalah :
a.       Mayat tersebut merupakan seorang muslim.
b.      Mayat tersebut bukan merupakan anak yang gugur (lahir dalam keadaan mati).
c.       Badan mayat masih ada sebatas ukuran adanya.
d.      Mayat tersebut bukan seorang yang mati syahid.
2.      Mengkafani mayat
Setelah mayat dimandikan, berikutnya adalah mengkafani mayat. Mengkafani mayat tidak boleh kecuali dengan sesuatu bahan yang boleh dipakai ketika hidup. Mengkafani mayat menggunakan kain kafan yang diwajibkan suci dan dimakruhkan berlebih-lebihan.
3.      Mensholatkan mayat
Setelah mayat dikafani, selanjutnya dilakukan proses sholat jenazah. Proses sholat jenazah dilakukan mulai dari niat sholat, empat kali takbir termasuk takbiratul ihram, dan doa untuk mayat.
4.      Menguburkan mayat
Kewajiban terakhir orang hidup terhadap mayat adalah menguburkannya dengan kedalaman liang kubur adalah sebatas dapat mencegah terciumnya bau mayat dan mencegah kemungkinan dibongkarnya kuburan oleh binatang. Mayat dikuburkan dengan posisi dimiringkan menghadap arah kiblat.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, merupakan suatu kewajiban bagi mayat seorang muslim untuk dimandikan, dikafani, disholatkan dan dikuburkan sesuai dengan syariat islam. Pada kasus body farming, mayat hanya dibiarkan diletakkan di atas tanah atau bahkan di dalam air hingga terjadi proses pembusukan secara alami sehingga dalam jangka waktu lama mayat akan terurai. Prinsip body farming ini bertolak belakang dengan syariat (fiqih) islam mengenai perlakuan terhadap mayat.

F.     Pendapat Terkait Penyelesaian Dilema Etik Body Farming
Beragamnya dilema etik yang muncul pada kasus body farming masih menjadikan body farming menjadi isu etik dalam penelitian kedokteran. Terkait dengan penyelesaikan dilema etik pada kasus tersebut, body farming diperbolehkan untuk dilakukan dilihat dari sisi ilmu pengetahuan yang akan memberikan manfaat bagi kemaslahatan umat. Namun perlu diperhatikan beberapa hal terkait perlakuan pada mayat khususnya mayat yang beragama islam (muslim), meliputi :
1.      Proses donasi mayat harus didasarkan atas permintaan mayat semasa hidupnya dan atau keluarga terdekat dan harus dituliskan dalam sebuah dokumen.
2.      Proses donasi mayat berdasarkan sukarela tanpa adanya proses transaksi atau jual beli.
3.      Mayat harus diperlakukan sebaik mungkin (tidak boleh diperlakukan dengan kasar dan semena-mena). Hal ini sesuai dengan hadist Rasulullah SAW : “Kematian yang paling ringan ibarat sebatang pohon penuh duri yang menancap di selembar kain sutera. Apakah batang pohon duri itu dapat diambil tanpa membawa serta bagian kain sutera yang tersobek?” (HR. Bukhari).
4.      Ketika proses penelitian pada mayat telah selesai dilakukan, merupakan suatu kewajiban bagi orang yang masih hidup untuk memperlakukan mayat sesuai dengan syariat (islam) meliputi memandikan, mengkafani, mensholatkan dan menguburkannya secara layak walaupun bagian tubuh mayat sudah dalam keadaan tidak utuh.
Sumber : www.google.com

G.    Kesimpulan
Body farming merupakan suatu langkah untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang kedokteran dan kesehatan yang hingga saat ini masih menjadi dilema etik kedokteran. Banyak pendapat-pendapat yang saling bertolak belakang mengenai prinsip body farming. Di satu sisi mayat merupakan makhluk Allah yang harus dihormati dan harus dilakukan kewajiban-kewajiban terhadap mayat, namun di sisi lain mayat harus diperlakukan sedemidikan rupa sebagai media penelitian dan media penegak hukum agar terciptanya ilmu kedokteran yang lebih baik demi kepentingan bersama. Oleh karena itu, body farming harus dilaksanakan sesuai dengan hukum peraturan negara dan syariat agama yang berlaku.

Daftar Pustaka

Anonim, 2015, PP 18/1981 Bedah Mayat Klinis Dan Bedah Mayat Anatomis Serta Transplantasi Alat Atau Jaringan Tubuh Manusiawww.hukum.unsrat.ac.id (diakses tanggal 20 Desember 2015)

Bass, B., Jefferson J, 2008, Beyond The Body Farm, Quercus, London.
Hanafiah, J., Amir, A., 1999, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, EGC,
Jakarta.
Juneman, 2013, Isu Etik dalam Penelitian di Bidang KesehatanAsosiasi Ilmu
Forensik Indonesia, Jakarta.
Killgrove, K., 2015, These 6 “Body Farms” Help Forensic Anthropologists Learn
To Solve Crimes, www.forbes.com. (diakses tanggal 20 Desember 2015).
Muhammad, A., 2002, Fikih, Grafindo Media Pratama, Jakarta.

Dilema Etik Kedokteran; Bayi Tabung

I.                   Definisi Konsep
Bayi tabung (fertilisasi in vitro) adalah usaha manusia untuk mengadakan pembuahan, dengan menyatukan atau mempertemukan antara ovum dengan spermatozoa dalam sebuah tabung gelas. (Handayani F, 2013)
Bayi tabung merupakan proses pengambilan sperma laki-laki dan ovum perempuan yang kemudian dicampur di dalam tabung dan setelah terjadi pembuahan, kemudian disarangkan ke dalam rahim kembali sehingga dapat tumbuh janin sebagaimana mestinya. (Zubaidah S, 2002)
II.                Prosedur Tindakan
Apabila ditinjau dari segi sperma, dan ovum serta tempat embrio ditransplantasikan, maka bayi tabung dapat dibagi menjadi 8 (delapan) jenis yaitu (Zubaidah S, 2002):
a. Bayi tabung yang menggunakan sperma dan ovum dari pasangan suami-isteri, kemudian embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim isteri;
b. Bayi tabung yang menggunakan sperma dan ovum dari pasangan suami-isteri, lalu embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim ibu pengganti (surrogate mother);
c. Bayi tabung yang menggunakan sperma dari suami dan ovumnya berasal dari donor, lalu embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim isteri;
d. Bayi tabung yang menggunakan sperma dari donor, sedangkan ovumnya berasal dari misteri lalu embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim isteri;
e. Bayi tabung yang menggunakan sperma donor, sedangkan ovumnya berasal dari misteri lalu embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim surrogate mother;
f. Bayi tabung yang menggunakan sperma dari suami, sedangkan ovumnya berasal dari donor, kemudian embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim  surrogate mother;
g. Bayi tabung yang menggunakan sperma dan ovum dari donor, lau embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim isteri’
h. Bayi tabung yang menggunakan sperma dan ovum berasal dari donor, kemudian embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim surrogate mother.
Dalam kasus-kasus penggunaan teknologi bayi tabung baru mencakup 5 (lima) jenis, yaitu: jenis a, b, c, d dan g. Prosedur dari tindakan bayi tabung, terdiri dari beberapa tahapan (Sondakh H R, 2015):
1.      Pengobatan Merangsang Ovarium
Pada tahap ini istri diberi obat yang merangsang ovum, sehingga dapat mengeluarkan banyak ovum dan hanya satu ovum yang berkembang selama siklus haid. Obat dapat diberikan secara oral maupun intravena. Obat diberikan setiap hari sejak permulaan haid dan dihentikan setelah ovumnya matang. Pemantauan ovum dilakukan dengan alat ultrasonografi (USG).
2.      Pengambilan Ovum
Pengambilan ovum dilakukan jika jumlah ovum sudah banyak. Pengambilan ini dilakukan dengan suntikan dibawah vagina dengan pemantauan USG.
3.      Pembuahan (Fertilisasi) Ovum
Setelah beberapa ovum berhasil dikeluarkan, maka dilanjutkan dengan menyeleksi sperma. Sperma akan diproses, sehingga hanya spermatozoa yang baik saja yang akan dipertemukan dengan ovum dalam tabung gelas di laboratorium. Ovum dan spermatozoa yang sudah bertemu akan dibiak dalam lemari pengeram. Pemantuan berikutnya dilakukan 18-20 jam kemudian. Pada pemantauan keesokan harinya diharapkan sudah terjadi pembelahan sel.
4.      Pemindahan Embrio
Jika sudah terbentuk embrio, embrio ini akan dipindahkan melalui
vagina ke dalam rongga rahim ibunya 2-3 hari kemudian.
5.      Pengamatan Terjadinya Kehamilan
Apabila 14 hari setelah pemindahan embrio tidak terjadi haid, maka dilakukan pemeriksaan HCG untuk menentukan adanya kehamilan. Kehamilan baru dipastikan dengan pemeriksaan USG seminggu kemudian.

III.             Dilema Etik
a.       Sisi Medis
Pada dasarnya pembuahan yang alami terjadi dalam rahim melalui cara yang alami pula (hubungan seksual), sesuai dengan fitrah yang telah ditetapkan Allah untuk manusia. Akan tetapi pembuahan alami ini terkadang sulit terwujud, misalnya karena rusaknya atau tertutupnya tuba fallopii yang membawa ovum ke rahim, serta tidak dapat diatasi dengan cara membukanya atau mengobatinya. Atau karena sel sperma suami lemah atau tidak mampu menjangkau rahim isteri untuk bertemu dengan ovum, serta tidak dapat diatasi dengan cara memperkuat sel sperma tersebut, atau mengupayakan sampainya sel sperma ke rahim isteri agar bertemu dengan ovum di sana. Semua ini akan meniadakan kelahiran dan menghambat suami isteri untuk memiliki anak.
Kesulitan tersebut dapat diatasi dengan suatu upaya medis agar pembuahan –antara sel sperma suami dengan sel telur isteri– dapat terjadi di luar tempatnya yang alami. Setelah sel sperma suami dapat sampai dan membuahi sel telur isteri dalam suatu wadah yang mempunyai kondisi mirip dengan kondisi alami rahim, maka sel telur yang telah terbuahi itu lalu diletakkan pada tempatnya yang alami, yakni rahim isteri. Dengan demikian kehamilan alami diharapkan dapat terjadi dan selanjutnya akan dapat dilahirkan bayi secara normal.
Teknologi bayi tabung merupakan upaya kehamilan di luar cara alamiah. Dalam hukum Indonesia, upaya kehamilan di luar cara alamiah diatur dalam pasal 127 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam pasal ini dinyatakan bahwa upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan:
a) Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal.
b) dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu;
c) pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
Jadi, yang diperbolehkan oleh hukum Indonesia adalah metode pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang sah yang ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal. Metode ini dikenal dengan metode bayi tabung. Adapun metode atau upaya kehamilan di luar cara alamiah selain yang diatur dalam pasal 127 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, termasuk ibu pengganti atau sewa menyewa/penitipan rahim, secara hukum tidak dapat dilakukan di Indonesia.
Menurut Soetedjo (2011), Selama 25 tahun, keberhasilan bayi tabung sekitar 30-40% dan relatif tetap. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakberhasilan bayi tabung :
1.      Faktor usia yang lebih ditekankan pada usia perempuan mana angka infertil pada usia 30-34 tahun sekitar 15%, meningkat 30% pada usia 35-39, dan 64% pada usia 40-44 tahun.
2.      Faktor suami walaupun tidak begitu bermakna dibandingkan perempuan. Misalnya hanya 23% keberhasilan bayi pasangan dengan usia suami di atas 50 tahun. Angka keberhasilan kelahiran hasil rekayasa dari bayi tabung pada wanita usia 40-43 tahun hanya 2-5% dan lebih dari 44 tahun belum dilaporkan adanya keberhasilan, penurunan keberhasilan terjadi setelah umur 35 tahun.
3.      Menipisnya cadangan sel telur, kelainan dari sperma pria yang sukar dikoreksi, adanya kelainan ganda pada sistem reproduksi wanita, atau semua hasil pemeriksaan normal namun infertil angkanya sekitar 10-30% (unexplained infertilitas)

b.      Sisi Ekono-sosio-kultural
Dari segi ekonomi, bayi tabung tergolong relatif mahal. Mahalnya biaya merupakan salah satu penghambat terlambatnya satu pasangan untuk memilih alternatif ini. Proses ini mahal karena melibatkan berbagai aspek yang berkaitan dengan teknologi tinggi serta berbagai bahan yang harus di impor.
Dari segi sosio-kultural, kedudukan sebagai anak akan dipertanyakan dalam bayi tabung. Hukum yang mengatur mengenai bayi tabung di Indonesia belum ada, namun untuk hukum yang mengatur tentang status hukum anak tertera dalam pasal 250 KUHP diatur tentang pengertian anak sah yakni tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya. Selanjutnya dalam Pasal 42 UU Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa "Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah".
Pada prinsipnya  kedua pendapat dan pandangan di atas menyetujui penggunaan teknik bayi tabung yang menggunakan sperma dan ovum dari pasangan suami-isteri kemudian embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim misteri dan kedudukan yuridis anak tersebut adalah sebagai anak sah. Anak sah mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan anak yang dilahirkan secara alami. Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang bersuami, maka secara yuridis status anak itu adalah anak sah dari pasangan penghamil, bukan pasangan yang mempunyai benih. (Sondakh H R, 2015)

c.       Perspektif Islam
Proses pembuahan dengan metode bayi tabung antara sel sperma suami dengan sel telur isteri, sesungguhnya merupakan upaya medis untuk memungkinkan sampainya sel sperma suami ke sel telur isteri. Sel sperma tersebut kemudian akan membuahi sel telur bukan pada tempatnya yang alami. Sel telur yang telah dibuahi ini kemudian diletakkan pada rahim isteri dengan suatu cara tertentu sehingga kehamilan akan terjadi secara alamiah didalamnya.
Proses seperti ini merupakan upaya medis untuk mengatasi kesulitan yang ada, dan hukumnya boleh. Sebab upaya tersebut adalah upaya untuk mewujudkan apa yang disunnahkan oleh Islam, yaitu kelahiran dan berbanyak anak, yang merupakan salah satu tujuan dasar dari suatu pernikahan. Diriwayatkan dari Anas ra bahwa Nabi SAW telah bersabda: “Menikahlah kalian dengan perempuan yang penyayang dan subur (peranak), sebab sesungguhnya aku akan berbangga di hadapan para nabi dengan banyaknya jumlah kalian pada Hari Kiamat nanti.” (HR. Ahmad)
Dalam proses pembuahan buatan dalam cawan untuk menghasilkan kelahiran tersebut, disyaratkan sel sperma harus milik suami dan sel telur harus milik isteri. Dan sel telur isteri yang telah terbuahi oleh sel sperma suami dalam cawan, harus diletakkan pada rahim isteri. Hukumnya haram bila sel telur isteri yang telah terbuahi diletakkan dalam rahim perempuan lain yang bukan isteri, atau apa yang disebut sebagai “ibu pengganti” (surrogate mother). Begitu pula haram hukumnya bila proses dalam pembuahan buatan tersebut terjadi antara sel sperma suami dengan sel telur bukan isteri, meskipun sel telur yang telah dibuahi nantinya diletakkan dalam rahim isteri. Demikian pula haram hukumnya bila proses pembuahan tersebut terjadi antara sel sperma bukan suami dengan sel telur isteri, meskipun sel telur yang telah dibuahi nantinya diletakkan dalam rahim isteri. (Handayani F, 2013)
Ketiga bentuk proses di atas tidak dibenarkan oleh hukum Islam, sebab akan menimbulkan pencampuradukan dan penghilangan nasab, yang telah diharamkan oleh ajaran Islam. Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa dia telah mendengar Rasulullah SAW bersabda:
Siapa saja perempuan yang memasukkan kepada suatu kaum nasab (seseorang) yang bukan dari kalangan kaum itu, maka dia tidak akan mendapat apa pun dari Allah dan Allah tidak akan pernah memasukkannya ke dalam surga. Dan siapa saja laki-laki yang mengingkari anaknya sendiri padahal dia melihat (kemiripan)nya, maka Allah akan tertutup darinya dan Allah akan membeberkan perbuatannya itu di hadapan orang-orang yang terdahulu dan kemudian (pada hari kiamat nanti). (HR. Ad Darimi)
Ketiga bentuk proses di atas mirip dengan kehamilan dan kelahiran melalui perzinaan, hanya saja di dalam prosesnya tidak terjadi penetrasi penis ke dalam vagina. Oleh karena itu laki-laki dan perempuan yang menjalani proses tersebut tidak dijatuhi sanksi bagi pezina (hadduz zina), akan tetapi dijatuhi sanksi berupa ta’zir, yang besarnya diserahkan kepada kebijaksaan hakim (qadli).
IV.             Pendapat
Dilihat dari tiga sisi di atas, pendapat dari penulis bahwa bayi tabung merupakan solusi pemecahan masalah terhadap infertilitas. Tindakan ini dapat membantu pasangan yang sudah menginginkan buah hati sejak menikah. Hal ini juga merupakan bentuk ikhtiar untuk memiliki keturunan sesuai dengan anjuran Rasulullah SAW.
Ketika langkah langkah pengobatan sudah di tempuh dan tidak membuahkan hasil maka bayi tabung dapat menjadi alternatif pilihan. Bayi tabung yang menjadi pilihan di sini yang sah menurut hukum negara dan sesuai dengan hukum islam, yang tidak haram. Dan metode yang dibolehkan yaitu dengan menggunakan sperma dan ovum dari pasangan suami-isteri, kemudian embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim misteri kembali. Sehingga tidak ada campur aduk dan penghilangan nasab dan sah baik secara islam maupun hukum negara.
Agar tidak terjadi kesalahpahaman persepsi status anak dalam bayi tabung sebaiknya pemerintah segera merealisasikan undang-undang yang mengatur mengenai bayi tabung.
V.                Kesimpulan
·         Bayi tabung merupakan proses pengambilan sperma laki-laki dan ovum perempuan yang kemudian dicampur di dalam tabung dan setelah terjadi pembuahan, kemudian disarangkan ke dalam rahim kembali sehingga dapat tumbuh janin sebagaimana mestinya.
·         Prosedur tindakan bayi tabung yaitu dengan pengobatan sehingga merangsang ovarium, pengambilan ovum yang sudah matang, pembuahan ovum, dan pemindahan kembali ke embrio
·         Upaya kehamilan di luar cara alamiah diatur dalam pasal 127 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
·         Keberhasilan bayi tabung berkisar 30-40%.
·         Biaya yang dikeluarkan untuk bayi tabung relatif mahal.
·         Bayi tabung sah secara hukum negara dan boleh secara hukum islam jika prosedur tindakan bayi tabung menggunakan sperma dan ovum dari pasangan suami-isteri, kemudian embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim isteri.

VI.              Referensi
Handayani F. 2013. Problematika Bayi Tabung menurut Hukum Islam. Hukum Islam. 13:1. 109-119.
Soetedjo. 2011. Etikomedikolegal. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang
Sondakh R H. 2015. Aspek Hukum Bayi Tabung di Indonesia. Lex administratur. 3:1. 66-74.

Zubaidah S, 2002. Bayi Tabung, Status Hukum dan Hubungan Nasabnya dalam Perspektif Hukum Islam. Al Mawarid (7th ed). 45-55.