Sabtu, 24 Oktober 2015

SYOK HIPOVOLEMIK

Syok merupakan suatu keadaan patofisiologis dinamik yang terjadi apabila oxygen delivery ke mitokondria sel di seluruh tubuh manusia tidak mencukupi kebutuhan oxygen consumption. Akibat dari ketidakadekuatan tersebut, metabolisme energi sel menjadi anaerobik. Keadaan ini hanya dapat ditoleransi tubuh dalam jangka waktu tertentu, selanjutnya dapat timbul kerusakan irreversible pada organ vital.1
Pada tingkat multiseluler, tidak semua jaringan dan organ secara klinis akan terganggu akibat kurangnya oksigen ketika syok. Alfred Blalock membagi syok menjadi 4 yaitu syok hipovolemik, syok kardiogenik, syok septik, syok neurogenik.2,3
Diseluruh dunia terdapat sekitar 6-20 juta kematian  tiap tahunnya akibat syok, meskipun penyebabnya berbeda tiap-tiap negara.4
Diagnosa adanya syok harus didasarkan pada data-data baik klinis maupun laboratorium yang jelas, yang merupakan akibat dari kurangnya perfusi pada jaringan. Syok bersifat progresif dan akan terus memburuk jika tidak segera ditangani. Syok mempengaruhi kerja organ-organ vital dan penanganannya memerlukan pemahaman tentang patofisiologi syok.5 Penatalaksanaan syok dilakukan seperti pada penderita trauma umumnya yaitu primary survey ABCDE. Tatalaksana syok bertujuan memperbaiki gangguan fisiologik dan menghilangkan faktor penyebab.4

A. Definisi
          Syok adalah keadaan darurat yang disebabkan kqrena kegagalan perfusi darah ke jaringan, sehingga mengakibatkan gangguan metabolisme sel.  Kematian karena syok dapat terjadi bila keadaan ini menyebabkan gangguan nutrisi dan metabolism sel. Terapi syok bertujuan untuk memperbaiki gangguan fisiologik dan menghilangkan faktor penyebab. Syok sirkulasi dianggap sebagai rangsang paling hebat dari hipofisis adrenalin sehingga menimbulkan akibat fisiologi dan metabolisme yang besar. Syok didefinisikan juga sebagai tidak adekuatnya volume darah sirkulasi  yang mengurangi perfusi, pertama pada jaringan nonvital (kulit, jaringan ikat, tulang, otot) kemudian ke organ vital (otak, jantung, paru- paru, dan ginjal). Syok atau renjatan merupakan suatu keadaan patofisiologis dinamik yang dapat mengakibatkan hipoksia jaringan dan sel.5 

B. Etiologi
Syok hipovolemik disebabkan karena tubuh :5
1. Kehilangan darah/syok hemoragik 
      Hemoragik eksternal : trauma, perdarahan gastrointestinal
      Hemoragik internal : hematoma, hematotoraks
2. Kehilangan plasma : luka bakar 
3. Kehilangan cairan dan elektrolit
     Eksternal : muntah, diare, keringat yang berlebih
     Internal : asites, obstruksi usus


C. Patofisiologi
          Syok menunjukkan perfusi jaringan yang tidak adekuat. Hasil akhirnya berupa lemahnya aliran darah (petunjuk umum), walaupun ada bermacam-macam penyebab. Syok dihasilkan oleh disfungsi empat sistem yang terpisah namun saling berkaitan yaitu: jantung, volume darah, resistensi arteriol (beban akhir), dan kapasitas vena. Jika ada salah satu faktor ini bermasalah dan faktor lain tidak dapat melakukan kompensasi maka akan terjadi syok. Awalnya tekanan darah arteri mungkin normal sebagai kompensasi peningkatan isi sekuncup dan curah jantung. Jika syok berlanjut, curah jantung menurun dan vasokontriksi perifer akan meningkat. 
Menurut patofisiologinya, syok terbagi atas 3 fase yaitu:5
  1. Fase Kompensasi
Penurunan curah jantung (cardiac output) terjadi sedemikian rupa sehingga timbul gangguan perfusi jaringan tapi belum cukup untuk menimbulkan gangguan seluler. Mekanisme kompensasi dilakukan melalui vasokonstriksi untuk menaikkan aliran darah ke jantung, otak dan otot skelet dan penurunan aliran darah ke tempat yang kurang vital. Faktor humoral dilepaskan untuk menimbulkan vasokonstriksi dan menaikkan volume darah dengan konservasi air.Ventilasi meningkat untuk mengatasi adanya penurunan kadar oksigen di daerah arteri. Jadi pada fase kompensasi ini terjadi peningkatan frekuensi dan kontraktilitas  otot jantung untuk menaikkan curah jantung dan peningkatan respirasi untuk memperbaiki ventilasi alveolar. Walau aliran darah ke ginjal menurun, tetapi ginjal mempunyai cara regulasi sendiri untuk mempertahankan filtrasi glomeruler. Akan tetapi jika tekanan darah menurun, maka filtrasi glomeruler juga menurun.

  1. Fase Progresif 
Terjadi jika tekanan darah arteri tidak lagi mampu mengkompensasi kebutuhan tubuh. Faktor utama yang berperan adalah jantung. Curah jantung tidak lagi mencukupi sehingga terjadi gangguan seluler di seluruh tubuh. Pada saat tekanan darah arteri menurun, aliran darah menurun, hipoksia jaringan bertambah nyata, gangguan seluler, metabolisme, produk metabolisme menumpuk, dan akhirnya terjadi kematian sel. Dinding pembuluh darah menjadi lemah, tak mampu berkonstriksi sehingga terjadi bendungan vena, venous return menurun. Relaksasi sfinkter prekapiler diikuti dengan aliran darah ke jaringan tetapi tidak dapat kembali ke jantung. Peristiwa ini dapat menyebabkan trombosis luas (DIC = Disseminated Intravascular Coagulation). Menurunnya aliran darah ke otak menyebabkan kerusakan pusat vasomotor dan respirasi di otak. Keadaan ini menambah hipoksia jaringan.Hipoksia dan anoksia menyebabkan terlepasnya toksin dan bahan lainnya dari jaringan (histamin dan bridikinin) yang ikut memperburuk syok (vasodilatasi dan memperlemah fungsi jantung). Iskemia dan anoksia usus menimbulkan penurunan integritas mukosa usus pelepasan toksin dan invasi bakteri usus ke sirkulasi. Invasi bakteri dan penurunan fungsi detoksifikasi hepar memperburuk keadaan. Timbul sepsis, DIC bertambah nyata, integritas system retikuloendotelial rusak, integritas mikrosirkulasi juga rusak. Hipoksia jaringan juga menyebabkan perubahan metabolisme dari aerobik menjadi anaerobik. Akibatnya terjadi asidosis metabolik, terjadi peningkatan asam laktat ekstraseluler dan timbunan asam karbonat di jaringan.

  1. Fase Irrevesibel/Refrakter 
Karena kerusakan seluler dan sirkulasi sedemikian luas sehingga tidak dapat diperbaiki. Kekurangan oksigen mempercepat timbulnya irreversibilitas syok.
Gagal sistem kardiorespirasi, jantung tidak mampu lagi memompa darah yang cukup, paru menjadi kaku, timbul edema interstisial, daya respirasi menurun, dan akhirnya anoksia dan hiperkapnea.
Penyebab syok hipovolemik yang paling umum adalah perdarahan mukosa saluran cerna dan trauma berat. Penyebab perdarahan terselubung adalah antara lain trauma abdomen dengan ruptur aneurisma aorta, ruptur limpa atau ileus obstruksi, dan peritonitis. Secara klinis syok hipovolemik ditandai oleh volume cairan intravaskuler yang berkurang bersama-sama penurunan tekanan vena sentral, hipotensi arterial, dan peningkatan tahanan vaskular sistemik. Respon jantung yang umum adalah berupa takikardia, Respon ini dapat minimal pada orang tua atau karena pengaruh obat-obatan. Gejala yang ditimbulkan bergantung pada tingkat kegawatan syok. 

D. Diagnosis
     a. Anamnesis
Pada pasien dengan kemungkinan syok akibat hipovolemik, riwayat penyakit penting untuk menentukan penyebab yang mungkin dan untuk penanganan lansung. Syok hipovolemik akibat kehilangan darah dari luar biasanya nyata dan mudah didiagnosis. Perdarahan dalam kemungkinan tidak nyata, seperti pasien hanya mengeluhkan kelemahan, letargi, atau perubahan status mental.7
Gejala-gejala syok seperti kelemahan, penglihatan kabur, dan kebingungan, sebaiknya dinilai pada semua pasien. Pada pasien trauma, menentukan mekanisme cedera dan beberapa informasi lain akan memperkuat kecurigaan terhadap cedera tertentu (misalnya, cedera akibat tertumbuk kemudi kendaraan, gangguan kompartemen pada pengemudi akibat kecelakaan kendaraan bermotor). Jika sadar, pasien mungkin dapat menunjukkan lokasi nyeri.Tanda vital, sebelum dibawa ke unit gawat darurat sebaiknya dicatat. Nyeri dada, perut, atau punggung mungkin menunjukkan gangguan pada pembuluh darah.Tanda klasik pada aneurisma arteri torakalis adalah nyeri yang menjalar ke punggung. Aneurisma aorta abdominalis biasanya menyebabkan nyeri perut, nyeri punggung, atau nyeri panggul.7,8
Pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal, mengumpulan keterangan tentang hematemesis, melena, riwayat minum alkohol, penggunaan obat anti-inflamasi non steroid yang lama, dan koagulopati (iatrogenik atau selainnya) adalah sangat penting.9
  • Kronologi muntah dan hematemesis harus ditentukan.
  • Pada pasien dengan hematemesis setelah episode berulang muntah yang hebat kemungkinan mengalami Sindrom Boerhaave atau Mallory-Weiss tear, sedangkan pasien dengan riwayat hematemesis sejak sejak awal kemungkinan mengalami ulkus peptik atau varises esophagus.
Jika suatu penyebab ginekologik dipertimbangkan, perlu dikumpukan informasi mengenai hal berikut: periode terakhir menstruasi, faktor risiko kehamilan ektopik, perdarahan pervaginam (termasuk jumlah dan durasinya), produk konsepsi pada saluran vagina, dan nyeri. Semua wanita usia subur sebaiknya menjalani tes kehamilan, untuk meyakinkan apakah mereka hamil. Tes kehamilan negatif bermakna untuk menyingkirkan diagnosis kehamilan ektopik.7

    b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik seharusnya selalu dimulai dengan penanganan jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi. Ketiganya dievaluasi dan distabilkan secara bersamaan, sistem sirkulasi harus dievaluasi untuk tanda-tanda dan gejala-gejala syok. Jangan hanya berpatokan pada tekanan darah sistolik sebagai indikator utama syok; hal ini menyebabkan diagnosis lambat. Mekanisme kompensasi mencegah penurunan tekanan darah sistolik secara signifikan hingga pasien kehilangan 30% dari volume darah. Sebaiknya nadi, frekuensi pernapasan, dan perfusi kulit lebih diperhatikan. Juga, pasien yang mengkonsumsi beta bloker mungkin tidak mengalami takikardi, tanpa memperhatikan derajat syoknya.10
Klasifikasi perdarahan telah ditetapkan, berdasarkan persentase volume darah yang hilang. Namun, perbedaan antara klasifikasi tersebut pada pasien hipovolemik sering tidak nyata. Penanganan sebaiknya agresif dan langsung lebih berkaitan pada respon terapi dibandingkan klasifikasi awal.10


Pada pasien dengan trauma, perdarahan biasanya dicurigai sebagai penyebab dari syok. Namun, hal ini harus dibedakan dengan penyebab syok yang lain. Diantaranya tamponade jantung (bunyi jantung melemah, distensi vena leher), tension pneumothorax (deviasi trakea, suara napas melemah unilateral), dan trauma medulla spinalis (kulit hangat, jarang takikardi, dan defisit neurologis).8
Ada empat daerah perdarahan yang mengancam jiwa meliputi: dada, perut, paha, dan bagian luar tubuh.7,8
1. Dada sebaiknya diauskultasi untuk mendengar bunyi pernapasan yang melemah, karena perdarahan yang mengancam hidup dapat berasal dari miokard, pembuluh darah, atau laserasi paru
2. Abdomen seharusnya diperiksa untuk menemukan jika ada nyeri atau distensi, yang menunjukkan cedera intraabdominal.
3. Kedua paha harus diperiksa jika terjadi deformitas atau pembesaran (tanda-tanda fraktur femur dan perdarahan dalam paha).
4. Seluruh tubuh pasien seharusnya diperiksa untuk melihat jika ada perdarahan luar.
Pada pasien tanpa trauma, sebagian besar perdarahan berasal dari abdomen. Abdomen harus diperiksa untuk mengetahui adanya nyeri, distensi, atau bruit. Mencari bukti adanya aneurisma aorta, ulkus peptikum, atau kongesti hepar. Juga periksa tanda-tanda memar atau perdarahan.7
Pada pasien hamil, dilakukan pemeriksaan dengan speculum steril. Meskipun, pada perdarahan trimester ketiga, pemeriksaan harus dilakukan sebagai double set-up di ruang operasi. Periksa abdomen, uterus,atau adneksa.7
Penyebab-penyebab syok hemoragik adalah trauma, pembuluh darah, gastrointestinal, atau berhubungan dengan kehamilan.11
  • Penyebab trauma dapat terjadi oleh karena trauma tembus atau trauma benda tumpul. Trauma yang sering menyebabkan syok hemoragik adalah sebagai berikut: laserasi dan ruptur miokard, laserasi pembuluh darah besar, dan perlukaan organ padat abdomen, fraktur pelvis dan femur, dan laserasi pada tengkorak.
  • Kelainan pada pembuluh darah yang mengakibatkan banyak kehilangan darah antara lain aneurisma, diseksi, dan malformasi arteri-vena.
  • Kelainan pada gastrointestinal yang dapat menyebabkan syok hemoragik antara lain: perdarahan varises oesofagus, perdarahan ulkus peptikum, Mallory-Weiss tears, dan fistula aortointestinal.
  • Kelainan yang berhubungan dengan kehamilan, yaitu kehamilan ektopik terganggu, plasenta previa, dan solutio plasenta. Syok hipovolemik akibat kehamilan ektopik umum terjadi. Syok hipovolemik akibat kehamilan ektopik pada pasien dengan tes kehamilan negatif jarang terjadi, tetapi pernah dilaporkan.
     c. Pemeriksaan Laboratorium
Setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan, langkah diagnosis selanjutnya tergantung pada penyebab yang mungkin pada hipovolemik, dan stabilitas dari kondisi pasien itu sendiri.7
Pemeriksaan laboratorium awal yang sebaiknya dilakukan antara lain:8,10
a. Hemoglobin dan hematokrit
Pada fase awal renjatan syok karena perdarahan kadar Hb dan hematokrit masih tidak berubah, kadar Hb dan hematokrit akan menurun sesudah perdarahan berlangsung lama, karena proses autotransfusi. Hal ini tergantung dari kecepatan hilangnya darah yang terjadi. Pada syok karena kehilangan plasma atau cairan tubuh seperti pada dengue fever atau diare dengan dehidrasi akan terjadi haemokonsentrasi.
b. Urin
Produksi urin akan menurun, lebih gelap dan pekat. Berat jenis urin menigkat >1,020. Sering didapat adanya proteinuria
c. Pemeriksaan analisa gas darah
pH, PaO2, PaCO2 dan HCO3 darah menurun. Bila proses berlangsung terus maka proses kompensasi tidak mampu lagi dan akan mulai tampak tanda-tanda kegagalan dengan makin menurunnya pH dan PaO2 dan meningkatnya PaCO2 dan HCO3. Terdapat perbedaan yang jelas antara PO2 dan PCO2 arterial dan vena.
d. Pemeriksaan elektrolit serum
Pada renjatan sering kali didapat adanya gangguan keseimbangan elektrolit seperti hiponatremi, hiperkalemia, dan hipokalsemia terutama pada penderita dengan asidosis
e. Pemeriksaan fungsi ginjal pemeriksaan BUN (Blood urea nitrogen) dan serum kreatinin penting pada renjatan terutama bila ada tanda-tanda gagal ginjal
f. Pemeriksaan faal hemostasis
g. Pemeriksaan yang lain untuk menentukan penyebab penyakit primer

Pemeriksaan Radiologi
Pasien dengan hipotensi dan/atau kondisi tidak stabil harus pertama kali diresusitasi secara adekuat. Penanganan ini lebih utama daripada pemeriksaan radiologi dan menjadi intervensi segera dan membawa pasien cepat ke ruang operasi.1
Langkah diagnosis pasien dengan trauma, dan tanda serta gejala hipovolemia langsung dapat ditemukan kehilangan darah pada sumber perdarahan. Pasien trauma dengan syok hipovolemik membutuhkan pemeriksaan ultrasonografi di unit gawat darurat jika dicurigai terjadi aneurisma aorta abdominalis. Jika dicurigai terjadi perdarahan gastrointestinal, sebaiknya dipasang selang nasogastrik, dan gastric lavage harus dilakukan. Foto polos dada posisi tegak dilakukan jika dicurigai ulkus perforasi atau Sindrom Boerhaave. Endoskopi dapat dilakukan (biasanya setelah pasien tertangani) untuk selanjutnya mencari sumber perdarahan.7
Jika dicurigai terjadi diseksi dada karena mekanisme dan penemuan dari foto polos dada awal, dapat dilakukan transesofageal echocardiography, aortografi, atau CT-scan dada.
Jika dicurigai terjadi cedera abdomen, dapat dilakukan pemeriksaan FAST (Focused Abdominal Sonography for Trauma) yang bisa dilakukan pada pasien yang stabil atau tidak stabil. CT-Scan umumnya dilakukan pada pasien yang stabil. Jika dicurigai fraktur tulang panjang, harus dilakukan pemeriksaan radiologi.8
Tes kehamilan sebaiknya dilakukan pada semua pasien perempuan usia subur. Jika pasien hamil dan sementara mengalami syok, konsultasi bedah dan ultrasonografi pelvis harus segera dilakukan pada pelayanan kesehatan yang memiliki fasilitas tersebut. Syok hipovolemik akibat kehamilan ektopik sering terjadi. Syok hipovolemik akibat kehamilan ektopik pada pasien dengan hasil tes kehamilan negatif jarang, namun pernah dilaporkan.8

E. Differensial diagnosis 8
  • Solusio plasenta Kehamilan ektopik
  • Aneurisma abdominal Perdarahan post partum
  • Aneurisma thoracis Trauma pada kehamilan
  • Fraktur femur Syok hemoragik
  • Fraktur pelvis Syok hipovolemik
  • Gastritis dan ulkus peptikum Toksik
  • Plasenta previa
F. Tatalaksana dan komplikasi
Keadaan syok hipovolemia biasanya terjadi berbarengan dengan kecelakaan sehingga diperlukan tatalaksana prehospital untuk mencegah timbulnya komplikasi, transfer pasien ke rumah sakit harus cepat, tatalaksana awal di tempat kejadian harus segera dikerjakan. Pada perdarahan eksternal yang jelas, dapat dilakukan penekanan langsung untuk mencegah kehilangan darah yang lebih banyak lagi.12 Prinsip pengelolaan dasar adalah menghentikan perdarahan dan mengganti kehilangan volume.13
     I. Penatalaksanaan awal
A.    Pemeriksaan jasmani 13,14
Meliputi penilaian ABCDE, serta respon penderita terhadap terapi, yakni melalui tanda-tanda vital, produksi urin dan tingkat kesadaran.

Airway dan Breathing
Tujuan: menjamin airway yang paten dengan cukupnya pertukaran ventilasi dan oksigenasi. Diberikan tambahan oksigen untuk mempertahankan saturasi >95%. Pada pasien cedera servikal perlu dilakukan imobilisasi. Pada pasien dengan syok hipovolemik memberikan ventilasi tekanan positif dapat mengakibatkan terjadinya penurunan aliran balik vena, cardiac output, dan memperburuk syok. Untuk memfasilitasi ventilasi maka dapat diberikan oksigen yang sifat alirannya high flow. Dapat diberikan dengan menggunakan non rebreathing mask sebanyak 10-12 L/menit.12

Sirkulasi
 Kontrol pendarahan dengan:
-          Mengendalikan pendarahan
-          Memperoleh akses intravena yang cukup
-          Menilai perfusi jaringan
Pengendalian pendarahan:
Dari luka luar à tekanan langsung pada tempat pendarahan (balut tekan).
Pendarahan patah tulang pelvis dan ekstremitas bawah à PASG (Pneumatic Anti Shock Garment).
Pendarahan internal à operasi
Posisi pasien juga dapat mempengaruhi sirkulasi. Pada pasien dengan hipotensi dengan menaikkan kakinya lebih tinggi dari kepala dan badannya akan meningkatkan venous return. Pada pasien hipotensi yang hamil dengan cara memiringkan posisinya ke sebelah kiri juga meningkatkan aliran darah balik ke jantung.

Disability : pemeriksaan neurologi
Menentukan tingkat kesadaran, pergerakan mata dan respon pupil, fungsi motorik dan sensorik. Manfaat: menilai perfusi otak, mengikuti perkembangan kelainan neurologi dan meramalkan pemulihan.

Exposure : Pemeriksaan lengkap
Pemeriksaan lengkap terhadap cedera lain yang mengancam jiwa serta pencegahan terjadi hipotermi pada penderita.

Dilatasi Lambung: dekompresi
Dilatasi lambung pada penderita trauma, terutama anak-anak mengakibatkan terjadinya hipotensi dan disritmia jantung yang tidak dapat diterangkan. Distensi lambung menyebabkan terapi syok menjadi sulit. Pada penderita yang tidak sadar, distensi lambung menyebabkan resiko aspirasi isi lambung. Dekompresi dilakukan dengan memasukkan selang melalui mulut atau hidung dan memasangnya pada penyedot untuk mengeluarkan isi lambung.

Pemasangan kateter urin
Memudahkan penilaian adanya hematuria dan evaluasi perfusi ginjal dengan memantau produksi urin.
Kontraindikasi: darah pada uretra, prostat letak tinggi, mudah bergerak.

B.     Akses pembuluh darah13
Harus segera didapatkan akses ke pembuluh darah. Paling baik dengan 2 kateter intravena ukuran besar, sebelum dipertimbangkan jalur vena sentral. Kateter yang digunakan adalah kateter pendek dan kaliber besar agar dapat memasukkan cairan dalam jumlah besar. Tempat terbaik jalur intravena orang dewasa adalah lengan bawah. Bila tidak memungkinkan digunakan akses pembuluh sentral atau melakukan venaseksi. Pada anak-anak < 6 tahun, teknik penempatan jarum intraosseus harus dicoba sebelum menggunakan jalur vena sentral. Selain itu, teknik intraoseus juga dapat dilakukan pada pasien dewasa dengan hipotensi. 12 Jika kateter vena telah terpasang, diambil darah untuk crossmatch, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan toksikologi, serta tes kehamilan pada wanita subur serta analisis gas darah arteri.

C.     Terapi Awal Cairan13, 15
       Larutan elektrolit isotonik digunakan sebagai terapi cairan awal. Jenis cairan ini mengisi intravaskuler dalam waktu singkat dan juga menstabilkan volume vaskuler dengan mengganti volume darah yang hilang berikutnya ke dalam ruang intersisial dan intraseluler. Larutan Ringer Laktat adalah cairan pilihan pertama sedangkan NaCl fisologis adalah pilihan kedua. Jumlah cairan yang diberikan adalah berdasarkan hukum 3 untuk 1, yaitu memerlukan sebanyak 300 ml larutan elektrolit untuk 100 ml darah yang hilang. Sebagai contoh, pasien dewasa dengan berat badan 70 kg dengan derajat perdarahan III membutuhkan jumlah cairan sebanyak 4.410 cairan kristaloid. Hal ini didapat dari perhitungan [(BB x % darah untuk masing-masing usia x % perdarahan)  x 3], yaitu [70 x 7% x 30% x 3].13 Jumlah darah pada dewasa adalah sekitar 7% dari berat badan, anak-anak sekitar 8-9% dari berat badan. Bayi sekitar 9-10% dari berat badan.16 Pemberian cairan ini tidak bersifat mutlak, sehingga perlu dinilai respon penderita untuk mencegah kelebihan atau kekurangan cairan. 13,17 Bila sewaktu resusitasi, jumlah cairan yang diperlukan melebihi perkiraan, maka diperlukan penilaian ulang yang teliti dan perlu mencari cedera yang belum diketahui atau penyebab syok yang lain.
Singkatnya untuk bolus cairan inisial dapat diberikan 1-2 L cairan kristaloid, pada pasien anak diberikan 20 cc/kg BB

     II. Evaluasi Resusitasi Cairan dan Perfusi Organ 13
A. Umum
Pulihnya tekanan darah menjadi normal, tekanan nadi dan denyut nadi merupakan tanda positif yang menandakan bahwa perfusi sedang kembali ke keadaan normal, tetapi tidak memberi informasi tentang perfusi organ.
B. Produksi urin
Jumlah produksi urin merupakan indikator penting untuk perfusi ginjal. Penggantian volume yang memadai menghasilkan pengeluaran urin sekitar 0,5 ml/kgBB/jam pada orang dewasa, 1 ml/kgBB/jam pada anak-anak dan 2 ml/kgBB/jam pada bayi. Jika jumlahnya kurang atau makin turunnya produksi dengan berat jenis yang naik menandakan resusitasi yang tidak cukup.
C.     Keseimbangan Asam-Basa
Penderita syok hipovolemik dini akan mengalami alkalosis pernafasan karena takipneu. Alkalosis respiratorik disusul dengan asidosis metabolik ringan dalam tahap syok dini tidak perlu diterapi. Asidosis metabolik yang berat dapat terjadi pada syok yang terlalu lama atau berat. Asidosis yang persisten pada penderita syok yang normothermic harus diobati dengan cairan darah dan dipertimbangkan intervensi operasi untuk mengendalikan pendarahan. Defisit basa yang diperoleh dari analisa gas darah arteri dapat memperkirakan beratnya defisit perfusi yang akut. 

     III. Respon Terhadap Resusitasi Cairan Awal
       Respon penderita terhadap resusitasi awal merupakan kunci untuk menentukan terapi berikutnya. Pola respon yang potensial tersebut, dibagi dalam 3 kelompok:13
1.      Respon  cepat
Penderita cepat memberi respon ketika bolus cairan awal dan tetap hemodinamis normal kalau bolus cairan awal selesai dan cairan kemudian diperlambat sampai kecepatan maintenance.
2.      Respon sementara (transient)
Sebagian besar penderita akan berespon terhadap pemberian cairan, namun bila tetesan diperlambat hemodinamik menurun kembali karena kehilangan darah yang masih berlangsunya.
3.      Respon minimal atau tanpa respon
Walaupun sudah diberikan cairan dan darah cukup, tetap tanpa respon,  perlu operasi segera.
Perbedaan masing-masingnya tampak pada tabel berikut.
Tabel 2.2 .Respon Terhadap Pemberian Cairan Awal 13

Respon Cepat
Respon Sementara
Tanpa Respon
Tanda vital
Kembali ke normal
Perbaikan sementara tek. Darah dan nadi kemudian kembali turun
Tetap abnormal
Dugaan Kehilangan darah
Minimal (10-20%)
Sedang-masih ada (20-40%)
Berat (>40%)
Kebutuhan kristaloid
Sedikit
Banyak
Banyak
Kebutuhan darah
Sedikit
Sedang-banyak
Banyak
Persiapan darah
Type specific & crossmatch
Type specific
Emergency
Operasi
Mungkin
Sangat mungkin
Hampir pasti
Kehadiran dini ahli bedah
Perlu
Perlu
Perlu

Keberhasilan manajemen syok hemoragik atau lebih khusus lagi resusitasi cairan bisa dinilai dari parameter-parameter berikut:
  • Capilary refill time < 2 detik
  • MAP 65-70 mmHg
  • O2 sat  >95%
  • Urine output >0.5 ml/kg/jam (dewasa) ; > 1 ml/kg/jam (anak)
  • Shock index =  HR/SBP      (normal 0.5-0.7)
  • CVP 8 to12 mm Hg
  • ScvO2  > 70%
IV. Transfusi Darah 13
       Tujuan utama transfusi darah adalah memperbaiki kemampuan mengangkut oksigen dari volume darah. Pemberian darah juga tergantung respon penderita terhadap pemberian cairan.
a). Pemberian darah packed cell vs darah biasa
Tujuan utama transfusi darah: memperbaiki kemampuan mengangkut oksigen dari volume darah. Dapat diberikan darah biasa maupun packed cell.
Pemberian cairan adekuat dapat memperbaiki cardiac output tetapi tidak memperbaiki oksigensi sebab tidak ada penambahan jumlah dari media transport oksigen yaitu hemoglobin. Pada keadaan tersebut perlu dilakukan tranfusi. Beberapa indikasi pemberian tranfusi PRC adalah:16
1.      Jumlah perdarahan diperkirakan >30% dari volume total atau perdarahan derajat III
2.      Pasien hipotensi yang tidak berespon terhadap 2 L kristaloid
3.      Memperbaiki delivery oksigen
4.      Pasien kritis dengan kadar hemoglobin 6-8 gr/dl.
Fresh frozen plasma diberikan apabila terjadi kehilangan darah lebih dari 20-25% atau terdapat koagulopati dan dianjurkan pada pasien yang telah mendapat 5-10 unit PRC. Tranfusi platelet diberikan apada keadaan trombositopenia (trombosit <20.000-50.000/mm15) dan perdarahan yang terus berlangsung. Berikut indikasi dan unit pemberian:18

            Tabel 2.3. Indikasi dan unit pemberian tranfusi produk darah18


b.) Darah crossmatch, jenis spesifik dan tipe O
-          Lebih baik darah yang sepenuhnya crossmatched.
-          Darah tipe spesifik dipilih untuk penderita yang responnya sementara atau singkat.
-          Jika darah tipe spesifik tidak ada, maka packed cell tipe O dianjurkan untuk penderita dengan pendarahan exsanguinating.
c.) Pemanasan cairan plasma dan kristaloid
Hipotermia harus dihindari dan dikoreksi bila penderita saat tiba di RS dalam keadaan hipotermi. Untuk mencegah hipotermi pada penderita yang menerima volume kristaloid adalah menghangatkan cairannya sampai 39˚C sebelum digunakan.
d.Autotransfusi
Pengumpulan darah keluar untuk autotransfusi sebaiknya dipertimbangkan untuk penderita dengan hemothoraks berat.
e.Koagulopati
Koagulopati jarang ditemukan pada jam pertama.
Penyebab koagulopati:
-          Transfusi masif akan menghasilkan dilusi platelet dan faktor-faktor pembekuan
-          Hipotermi menyebabkan gangguan agregasi platelet dan clotting cascade.
f.Pemberian Kalsium
Kalsium tambahan dan berlebihan dapat berbahaya. 
Tatalaksana Syok hemoragik (Gambar 2.6)19

G. Komplikasi 
Komplikasi paling umum pada syok hemoragik adalah penggantian volume yang tidak adekuat.
a/ Pendarahan yang berlanjut
Pendarahan yang tidak terlihat adalah penyebab paling umum dari respon buruk penderita terhadap cairan, dan termasuk kategori respon sementara.
b/ Kebanyakan cairan (overload) dan pemantauan CVP (central venous pressure)
Setelah penilaian penderita dan pengelolaan awal, resiko kebanyakan cairan diperkecil dengan memantau respon penderita terhadap resusitasi, salah satunya dengan CVP. CVP merupakan pedoman standar untuk menilai kemampuan sisi kanan jantung untuk menerima beban cairan.
c/ Menilai masalah lain
Jika penderita tidak memberi respon terhadap terapi, maka perlu dipertimbangkan adanya tamponade jantung, penumothoraks tekanan, masalah ventilator, kehilangan cairan yang tidak diketahui, distensi akut lambung, infark miokard, asidosis diabetikum, hipoadrenalisme dan syok neurogenik. Beberapa medikasi lain yang diperlukan adalah pemberian antibiotik dan antasida atau H2 blocker. Pasien syok perdarahan memiliki resiko terjadinya sepsis akibat iskemi pada sistem saluran cerna. Pemberian antasida atau H2 blocker bertujuan untuk mengurangi stress ulcer.18
d/ Sekuele neurologis
e/ Kematian 

DAFTAR PUSTAKA
Sjamsuhidayat, Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC; 2005. 119-24.
Udeani J. Shock, Hemorrhagic. 2008 [cited November 26th 2011]. http://emedicine.medscape.com/article/432650-overview
Krausz. Initial Resuscitation Of Hemorrhagic Shock. World Jurnal of Emergency Surgery. 2006. 1-14
American College of Surgeons Committe On Trauma. Advanced Trauma Life Support Untuk Dokter. 1997.  89-115
Anderson SP, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit jilid 1, edisi 4.1995. Jakarta: EGC.
Stern SA. Low-volume fluid resuscitation for presumed hemorrhagic shock: Helpful or harmful? Curr Opin Crit Care 7:422, 2001
Japardi, Iskandar. 2002. Manifestasi Neurologik Shock Sepsis. http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi20.pdf
Franklin C M, Darovic G O, Dan B B. Monitoring the Patient in Shock. Dalam buku: Darovic G O, ed, Hemodynamic Monitoring: Invasive and Noninvasive Clinical Application. USA : EB. Saunders Co. 1995 ; 441 - 499.
Schwarz A, Hilfiker ML.Shock. update October 2004 http:/www/emedicine.com/ped/topic3047
Patrick D. At a Glance Medicine, Norththampon : Blackwell Science Ltd, 2003
Bartholomeusz L, Shock, dalam buku: Safe Anaesthesia, 1996; 408-413Kolecki P, author. Hypovolemic shock [monograph on the Internet]. Washington:Medscape reference; 2010 [cited 2011 Nov 29]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/760145-treatment American College of Surgeons Committe On Trauma. Advanced Trauma Life Support Untuk Dokter. 1997.  89-115
Rifki. Syok dan penanggulangannya. FKUA. Padang.1999
Krausz. Initial Resuscitation Of Hemorrhagic Shock. World Jurnal of Emergency Surgery. 2006. 1-14
Martel MJ. Hemorrhagic shock. J Obstet Gynaecol Can. Vol 24 (6). 2002. 504-11
Stern SA. Low-volume fluid resuscitation for presumed hemorrhagic shock: Helpful or harmful? Curr Opin Crit Care 7:422, 2001
Bozeman P W. Shock, Hemorrhagic. 2007 [cited Mei 10th 2011]. http://www.emedicine.com
Demling RH, Wilson RF. Decision making in surgical care. B.C. Decker Inc. 1988.64
Brandler ES, editor. Cardiogenic shock in emergency medicine [monograph on the Internet]. Washington:Medscape reference; 2010 [cited 2011 Nov 29]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/759992-treatment
Lenneman A, Ooi HH, editors. Cardiogenic shock. [monograph on the Internet]. Washington:Medscape reference; 2010 [cited 2011 Nov 29]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/152191-treatment
Suryono B. Diagnosis dan pengelolaan syok pada dewasa. [Clinical updates emergency case]. FK UGM: RSUP dr. Sadjito, 2008



0 komentar:

Posting Komentar