Selasa, 27 Oktober 2015

DIARE ANAK


A. Diare Akut 

Definisi 
Perubahan konsistensi tinja yang terjadi tiba-tiba  akibat kandungan air di dalam tinja melebihi normal (10 mL/KgBB/hari) dengan peningkatan frekuensi defekasi lebih dari 3 kali dalam 24 jam dan berlangsung  kurang dari 14 hari. Pola defekasi neonatus dan bayi, hingga usia 4-6 bulan, yang defekasi kali/hari dan konsistensinya cair atau lembek masih dianggap normal selama tumbuh kembangnya baik. 

Etiologi 
  1. Infeksi: virus (rotavirus, adenovirus, norwalk), bakteri (Shigella sp., Salmonella sp., E. coli, Vibrio sp.), parasit (protozoa: E. hystolytica, G. lamblia, Balantidium coli; cacing: Ascaris sp., Trichuris sp., Strongyloides sp.; jamur: Candida sp.), infeksi ekstra usus (otitis media akut, infeksi saluran kemih, pneumonia). Terbanyak disebabkan rotavirus (20-40%); 
  2. Alergi makanan: alergi susu sapi, protein kedelai, alergi multipel; 
  3. Malabsorpsi: karbohidrat (intoleransi laktosa), lemak, dan protein; 
  4. Keracunan makanan (misalnya makanan kaleng akibat Botulinum sp.); 
  5. Lain-lain: obat-obatan (antibiotik atau Obat lainnya), kelainan anatomi. 

Pertimbangkan apakah diare termasuk primer (infeksi pada saluran cerna) atau sekunder (gejala ikutan dari penyakit sistemik, seperti bronkopneumonia, ensefalitis, dan sebagainya). 

Diagnosis 
  • Anamnesis 

Perlu ditanyakan deskripsi diare (frekuensi, lama diare berlangsung, warna, konsistensi tinja, adanya lendir/darah dalam tinja), adanya muntah, tanda dehidrasi (rasa haus, anak rewel/lemah, BAK terakhir), demam, kejang, jumlah cairan masuk, riwayat makan dan minum, penderita sekitar, pengobatan yang diterima, dan gejala invaginasi (tangisan keras dan bayi pucat). 
  • Pemeriksaan Fisis 

• Periksa keadaan umum, kesadaran, tanda vital, dan berat badan; 
• Selidiki tanda-tanda dehidrasi: rewel/gelisah, letargis/kesadaran berkurang, mata cekung, cubitan kulit perut kembali lambat (turgor abdomen), haus/minum lahap, malas/tidak dapat minum, ubun-ubun cekung, air mata berkurang/tidak ada, keadaan mukosa mulut; 
• Tanda-tanda ketidakseimbangan asam basa dan elektrolit: kembung akibat hipokalemia, kejang akibat gangguan natrium, napas cepat dan dalam akibat asidosis metabolik. 
  • Pemeriksaan Penunjang 

• Pemeriksaan tinja, namun tidak rutin dilakukan, kecuali ada tanda-tanda intoleransi laktosa dan kecurigaan amubiasis. Dapat dilakukan secara makroskopis, mikroskopis, maupun kimiawi; 

Tabel l. Klasifikasi Diare pada Anak Berdasarkan Derajat Dehidrasi 
Klasifikasi
Tanda dan Gejala
Dehidrasi Berat 
(kehilangan cairan berat badan) 
Dua atau lebih tanda berikut: 
·         Kondisi umum lemah, letargis/tidak sadar 
·         Ubun-ubun besar, mata sangat cekung 
·         Malas minum/tidak dapat minum 
·         Cubitan perut kembali sangat lambat (>=2detik) 

Dehidrasi Ringan-Sedang 
(kehilangall cairan 5-10% berat badan) 

Dua atau lebih tanda berikut: 
·         Rewel, gelisah, cengeng 
·         Ubun •ubun besar, mata sedikit cekung 
·         Tampak kehausan, minum lahap 
·         Cubitan perut kembali lambat 

Tanpa Dehidrasi 
(kehilangan cairan <5% berat badan) 
Tidak ada cukup tanda untuk diklasifikasikan ke dua kriteria di atas. 

• Dehidrasi berat: elektrolit serum, analisis gas darah, nitrogen urea, kadar gula darah. 
Klasifikasi Diare (lihat Tabel 1) 

Tata Laksana 
Pada prinsipnya ada lima pilar tata laksana diare  menurut WHO: 
1) Rehidrasi; 
2) Dukungan nutrisi, 
3) Pemberian antibiotik sesuai indikasi, 
4) Pemberian Zink, dan 
5) Edukasi pada orang tua. Berikut alur tatalaksana diare sesuai derajat dehidrasinya. 

Diare Akut Dehidrasi Berat 
• Rehidrasi intravena, 100 cc/KgBB cairan ringer laktat atau ringer asetat (jika tidak ada, gunakan salin normal) dengan ketentuan berikut:


Pertama berikan 30 cc/KgBB dalam;
Selanjutnya 70cc/KgBB dalam;
Umur <12 bulan
1 Jam
5 Jam
Umur >= 12 bulan
30 Menit
2,5 Jam

Diikuti rehidrasi oral jika sudah dapat minum, dimulai 5cc/KgBB/jam selama proses rehidrasi; 
○ Periksa kembali status hidrasi anak setiap 15-30 menit, klasifikasikan ulang derajat dehidrasi setelah 3 jam (untuk anak) atau 6 jam (untuk bayi). Tata laksana selanjutnya diberikan sesuai derajat dehidrasi tersebut; 
○ Jika tidak ada fasilitas intravena, pasang pipa nasogastrik dan beri 20cc/KgBB/jam selama 6 jam atau rujuk segera ke rumah sakit. 

Diare Akut Dehidrasi Ringan-Sedang 
• Pasien dipantau di puskesmas/rumah sakit; 
• Berikan larutan oralit dalam waktu 3 jam pertama sebanyak 75cc/KgBB, ajarkan ibu memberi oralit sedikit-sedikit tapi sering (small but frequent) dengan sendok teh, cangkir, mangkok, atau gelas. Bila anak muntah tunggu 10 menit, lalu lanjutkan dengan lebih lambat; 
• Lanjutkan pemberian ASI; 
• Periksa kembali dan klasifikasikan ulang setelah 3 jam. 

Diare Akut Tanpa Dehidrasi 
Dapat dilakukan terapi rawat jalan dengan empat aturan perawatan di rumah sebagai berikut (juga berlaku untuk diare dengan dehidrasi setelah perawatan): 
• Beri cairan tambahan, seperti ASI, yang lebih sering dan lama. Jika anak tidak memperoleh ASI eksklusif, berikan oralit, air matang, atau cairan makanan (kuah sayur, air tajin). Pada kasus diare dengan dehidrasi, berikan 6 bungkus oralit (@200cc), berikan 100 cc tiap kali BAB
• Beri tablet Zink selama 10-14 hari, yaitu 1/2 tablet (1'0 mg)/hari untuk anak usia '6 bulan dan 1 tablet (20 mg)/hari untuk anak usia bulan. Zink berrnanfaat untuk menurunkan frekuensi BAB dan memperbaiki volume tinja, mengurangi lama diare, serta menurunkan kejadian diare pada bulan-bulan berikutnya; 
• Beri makanan segera setelah anak dapat makan. Lanjutkan pemberian makan atau ASI, dengan pola sedikit tapi sering (sekitar 6 kali/ hari)
• Edukasi kapan harus kembali (jika keadaan anak memburuk, tidak dapat/malas minum, timbul demam, timbul darah dalam tinja, tidak membaik setelah 5 hari). 

Terapi Lainnya: 
• Antibiotik tidak digunakan secara rutin dan hanya bermanfaat pada anak dengan diare berdarah (disentri), suspek kolera, dan infeksi berat lain yang tidak berhubungan saluran pencernaan. Penggunaan antibiotik tidak rasional akan mengganggu keseimbangan flora usus sehingga memperpanjang diare menjadi persisten, mempersulit penyembuhan, dan meningkatkan kemungkinan penularan. Selain itu juga menyebabkan resistensi kuman terhadap antibiotik; 
• Obat antiprotozoa jarang digunakan; 
• Obat-obatan antidiare tidak boleh diberikan pada anak karena tidak mencegah dehidrasi maupun  meningkatkan status gizi anak, namun memiliki efek samping berbahaya hingga fatal; 
• Probiotik dapat bermanfaat mempersingkat lama diare pada anak dan mencegah diare pada bayi; 
• Vaksin rotavirus menimbulkan imunogenitas yang baik pada anak dan efek samping yang rendah,  diberikan sebelum usia 6 bulan dalam 2-3 kali pemberian dengan interval 4-6 minggu. 

Langkah Promotif/Preventif: 
(l) ASI tetap diberikan; 
(2) Menjaga kebersihan perorangan, cuci tangan sebelum makan; 
(3) Menjaga kebersihan lingkungan, BAB di jamban; 
(4) Imunisasi campak; 
(5) Memberikan makanan penyapihan yang benar; 
(6) Penyediaan air minum bersih, serta 
(7) Makanan yang selalu dimasak secara adekuat. 

Komplikasi 
berat 
Dehidrasi, gangguan elektrolit, penurunan badan, gagal tumbuh, serta diare yang lebih berat dan sering terjadi. 

B. Diare Persisten 

Definisi 
Diare persisten adalah diare akut dengan atau tanpa disertai darah dan berlanjut sampai 14 hari atau lebih. 

Faktor Risiko 
Usia bulan, lahir prematur, kondisi malanutrisi, tidak mendapat ASI, penyakit komorbid, dan anemia. 

Etiologi 
Untuk mengetahui etiologi diare persisten, perlu ditentukan apakah diare tergolong osmotik atau sekretorik, misalnya dengan memuasakan pasien selama 24 jam. Pada diare osmotik, diare akan berkurang atau berhenti; demikian sebaliknya untuk diare sekretorik: 

Diare osmotik: intoleransi laktosa sekunder, cow's milk protein sensitive enteropathy (CMPSE), 
sindrom malabsorpsi; 
Diare sekretorik: bacterial overgrowth, antibiotic-induced, infeksi persisten (Shigella sp., Cryptosporidium sp., E. coli, serta infeksi virus, jamur, dan parasit). 

Setiap anak dengan diare persisten perlu diperiksa kemungkinan infeksi di luar usus, seperti pneumonia, sepsis, infeksi saluran kencing, sariawan mulut, dan otitis media. 

Diagnosis 
Diare persisten memiliki tanda dan gejala yang serupa dengan diare akut. Namun karena diare bersifat berlanjut, maka perlu dilakukan identifikasi etiologi yang mendasari (lihat Gambar 1). 

Tata Laksana 
Terapi cairan sesuai derajat dehidrasi (seperti klasifikasi pada diare akut). Atasi kelainan asam basa dan gangguan elektrolit jika terjadi; 
Pemberian diet sesuai usia dan status gizi. Pada perawatan di rumah sakit, setidaknya diberikan 110 Kal/KgBB/hari. ASI tidak dihentikan; 
Suplementasi mikronutrien Zink selama 10 hari untuk regenerasi mukosa usus, dengan dosis sebagai berikut: 
  • Anak usia «6 bulan: 10 mg atau 1/2 tablet perhari; 
  • Anak usia 26 bulan: 20 mg atau 1 tablet perhari; 

Tata laksana spesifik sesuai etiologi yang mendasari: 

Kasus infeksi: antibiotik sesuai hasil identifikasi bakteri penyebab. Berikan metronidazol 50 mg/Kg PO dibagi 3 dosis selama 5 hari untuk kasus amubiasis dan giardiasis, atau metronidazol 30 mg/KgBB dibagi 3 dosis untuk kasus Clostridium dificile. Pada kasus infeksi Klebsiela sp. atau E. coli patogen, berikan antibiotik sesuai hasil uji sensitivitas; 
Kasus intoleransi laktosa: berikan formula/diet bebas laktosa; 
Kasus alergi susu sapi: teruskan ASI dan hindari makanan dari susu sapi; 
Kasus malabsorpsi: berikan makanan atau formula elemental secara oral atau parenteral
Kasus antibiotic-induced: hentikan antibiotik dan berikan probiotik selama 7-10 hari; 
Evaluasi keberhasilan pengobatan: asupan makanan cukup, penambahan berat badan, diare berkurang, tidak ada demam. 

Indikasi Rawat 
Anak mengalami gizi buruk, atau disertai tanda- tanda dehidrasi berat (lihat Bab Diare Akut). 

Komplikasi 
Dehidrasi, syok hipovolemik, hipokalemia, hipoglikemia, kejang, malanutrisi energi protein. 

Referensi
l. Wyllie R. Clinical manifestations of gastrointestinal disease. Dalam: Kliegman RM, Stanton BM, Geme J, Schor N, Behrman RE, penyunting. Nelson's textbook of pediatrics. Edisi ke- 19. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011 
2. Pudjiadi AH, Hegar B, Hardyastuti S, NS, EP, Harmoniati ED, penyunting. Pedoman pelayanan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Jakarta: Badan penerbit IDAI; 2011. 
3. World Health Organization (WHO). Pelayanan anak di rumah sakit, pedoman bagi rumah sakit rujukan tingkat pertama di kabupaten/kota. Jakarta: WHO: 2009 
4. Sastroasmoro S, penyunting. Panduan pelayanan medis departemen kesehatan anak RSCM. Jakarta: RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo; 2007. 
5. Kadim M. Disentri. Divisi Gastrohepatologi Departemen limu Kesehatan Anak FKUI/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Jakarta. 

Sabtu, 24 Oktober 2015

LUKA BAKAR (COMBUSTIO)

A. DEFINISI
Luka bakar (combustio/burn) adalah cedera (injuri) sebagai akibat kontak langsung atau terpapar dengan sumber-sumber panas (thermal), listrik (electrict), zat kimia (chemycal), atau radiasi (radiation).

B. INSIDENSI
Perawatan luka bakar mengalami perbaikan/kemajuan dalam dekade terakhir ini, yang mengakibatkan menurunnya angka kematian akibat luka bakar. Pusat – pusat perawatan luka bakar telah tersedia cukup baik, dengan anggota team yang menangani luka bakar terdiri dari berbagai disiplin yang saling bekerja sama untuk melakukan perawatan pada klien dan keluarganya.
Luka bakar merupakan penyebab kematian ketiga akibat kecelakaan pada semua kelompok umur. Laki-laki cenderung lebih sering mengalami luka bakar dari pada wanita, terutama pada orang tua atau lanjut usia ( diatas 70 th).

C. ETIOLOGI
Luka bakar dikategorikan menurut mekanisme injurinya meliputi:
1. Luka Bakar Termal
Luka bakar thermal (panas) disebabkan oleh karena terpapar atau kontak dengan api, cairan panas atau objek-objek panas lainnya.
2. Luka Bakar Kimia
Luka bakar chemical (kimia) disebabkan oleh kontaknya jaringan kulit dengan asam atau basa kuat. Konsentrasi zat kimia, lamanya kontak dan banyaknya jaringan yang terpapar menentukan luasnya injuri karena zat kimia ini. Luka bakar kimia dapat terjadi misalnya karena kontak dengan zat – zat pembersih yang sering dipergunakan untuk keperluan rumah tangga dan berbagai zat kimia yang digunakan dalam bidang industri, pertanian dan militer. Lebih dari 25.000 produk zat kimia diketahui dapat menyebabkan luka bakar kimia.
3. Luka Bakar Elektrik
Luka bakar electric (listrik) disebabkan oleh panas yang digerakan dari energi listrik yang dihantarkan melalui tubuh. Berat ringannya luka dipengaruhi oleh lamanya kontak,tingginya voltage dan cara gelombang elektrik itu sampai mengenai tubuh.
4. Luka Bakar Radiasi
Luka bakar radiasi disebabkan oleh terpapar dengan sumber radioaktif. Tipe injuri ini seringkali berhubungan dengan penggunaan radiasi ion pada industri atau dari sumber radiasi untuk keperluan terapeutik pada dunia kedokteran. Terbakar oleh sinar matahari akibat terpapar yang terlalu lama juga merupakan salah satu tipe luka bakar radiasi.

D. EFEK PATOFISIOLOGI LUKA BAKAR
1. Pada Kulit
Perubahan patofisiologik yang terjadi pada kulit segera setelah luka bakar tergantung pada luas dan ukuran luka bakar. Untuk luka bakar yang kecil (smaller burns), respon tubuh bersifat lokal yaitu terbatas pada area yang mengalami injuri. Sedangkan pada luka bakar yang lebih luas misalnya 25 % dari total permukaan tubuh (TBSA : total body surface area) atau lebih besar, maka respon tubuh terhadap injuri dapat bersifat sistemik dan sesuai dengan luasnya injuri. Injuri luka bakar yang luas dapat mempengaruhi semua sistem utama dari tubuh, seperti :
2. Sistem kardiovaskuler
Segera setelah injuri luka bakar, dilepaskan substansi vasoaktif (catecholamine, histamin, serotonin, leukotrienes, dan prostaglandin) dari jaringan yang mengalami injuri. Substansi – substansi ini menyebabkan meningkatnya permeabilitas kapiler sehingga plasma merembes (to seep) kedalam sekitar jaringan. Injuri panas yang secara langsung mengenai pembuluh akan lebih meningkatkan permeabilitas kapiler. Injuri yang langsung mengenai membran sel menyebabkan sodium masuk dan potasium keluar dari sel. Secara keseluruhan akan menimbulkan tingginya tekanan osmotik yang menyebabkan meningkatnya cairan intracellular dan interstitial dan yang dalam keadaan lebih lanjut menyebabkan kekurangan volume cairan intravaskuler. Luka bakar yang luas menyebabkan edema tubuh general baik pada area yang mengalami luka maupun jaringan yang tidak mengalami luka bakar dan terjadi penurunan sirkulasi volume darah intravaskuler. Denyut jantung meningkat sebagai respon terhadap pelepasan catecholamine dan terjadinya hipovolemia relatif, yang mengawali turunnya kardiac output. Kadar hematokrit meningkat yang menunjukan hemokonsentrasi dari pengeluaran cairan intravaskuler. Disamping itu pengeluaran cairan secara evaporasi melalui luka terjadi 4-20 kali lebih besar dari normal. Sedangkan pengeluaran cairan yang normal pada orang dewasa dengan suhu tubuh normal perhari adalah 350 ml.
Keadaan ini dapat mengakibatkan penurunan pada perfusi organ. Jika ruang intravaskuler tidak diisi kembali dengan cairan intravena maka shock hipovolemik dan ancaman kematian bagi penderita luka bakar yang luas dapat terjadi.
Kurang lebih 18-36 jam setelah luka bakar, permeabilitas kapiler menurun, tetapi tidak mencapai keadaan normal sampai 2 atau 3 minggu setelah injuri. Kardiac output kembali normal dan kemudian meningkat untuk memenuhi kebutuhan hipermetabolik tubuh kira-kira 24 jam setelah luka bakar. Perubahan pada kardiak output ini terjadi sebelum kadar volume sirkulasi intravena kembali menjadi normal. Pada awalnya terjadi kenaikan hematokrit yang kemudian menurun sampai di bawah normal dalam 3-4 hari setelah luka bakar karena kehilangan sel darah merah dan kerusakan yang terjadi pada waktu injuri. Tubuh kemudian mereabsorbsi cairan edema dan diuresis cairan dalam 2-3 minggu berikutnya.
3. Sistem Renal dan Gastrointestinal
Respon tubuh pada mulanya adalah berkurangnya darah ke ginjal dan menurunnya GFR (glomerular filtration rate), yang menyebabkan oliguri. Aliran darah menuju usus juga berkurang, yang pada akhirnya dapat terjadi ileus intestinal dan disfungsi gastrointestia pada klien dengan luka bakar yang lebih dari 25 %.
4. Sistem Imun
Fungsi sistem immune mengalami depresi. Depresi pada aktivitas lymphocyte, suatu penurunan dalam produksi immunoglobulin, supresi aktivitas complement dan perubahan/gangguan pada fungsi neutropil dan macrophage dapat terjadi pada klien yang mengalami luka bakar yang luas. Perubahan-perubahan ini meningkatkan resiko terjadinya infeksi dan sepsis yang mengancam kelangsungan hidup klien.
5. Sistem Respiratori
Dapat mengalami hipertensi arteri pulmoner, mengakibatkan penurunan kadar oksigen arteri dan “lung compliance”.
a. Smoke Inhalation.
Menghisap asap dapat mengakibatkan injuri pulmoner yang seringkali berhubungan dengan injuri akibat jilatan api. Kejadian injuri inhalasi ini diperkirakan lebih dari 30 % untuk injuri yang diakibatkan oleh api.
Manifestasi klinik yang dapat diduga dari injuri inhalasi meliputi adanya LB yang mengenai wajah, kemerahan dan pembengkakan pada oropharynx atau nasopharynx, rambut hidung yang gosong, agitasi atau kecemasan, takhipnoe, kemerahan pada selaput hidung, stridor, wheezing, dyspnea, suara serak, terdapat carbon dalam sputum, dan batuk. Bronchoscopy dan Scaning paru dapat mengkonfirmasikan diagnosis.
Patofisiologi pulmoner yang dapat terjadi pada injuri inhalasi berkaitan dengan berat dan tipe asap atau gas yang dihirup.
b. Keracunan Carbon Monoxide.
CO merupakan produk yang sering dihasilkan bila suatu substansi organik terbakar. Ia merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa, yang dapat mengikat hemoglobin 200 kali lebih besar dari oksigen. Dengan terhirupnya CO, maka molekul oksigen digantikan dan CO secara reversibel berikatan dengan hemoglobin sehingga membentuk carboxyhemoglobin (COHb). Hipoksia jaringan dapat terjadi akibat penurunan secara menyeluruh pada kemampuan pengantaran oksigen dalam darah. Kadar COHb dapat dengan mudah dimonitor melalui kadar serum darah. Manifestasi dari keracunan CO adalah sbb (lihat tabel 1)

E. KLASIFIKASI BERATNYA LUKA BAKAR
1. Faktor yang mempengaruhi berat ringannya luka bakar
Beberapa faktor yang mempengaruhi berat - ringannya injuri luka bakar antara lain kedalaman luka bakar, luas luka bakar, lokasi luka bakar, kesehatan umum, mekanisme injuri dan usia. Berikut ini akan dijelaskan tentang faktor-faktor tersebut di atas:

a. Kedalaman luka bakar
Kedalaman luka bakar dapat dibagi ke dalam 5 kategori yang didasarkan pada elemen kulit yang rusak, meliputi :
1) Superfisial (derajat 1)
2) Superfisial – Kedalaman Partial (Partial Thickness)
3) Dalam – Kedalaman Partial (Deep Partial Thickness)
4) Kedalaman Penuh (Full Thickness)
5) Subdermal

b. Luas luka bakar
Terdapat beberapa metode untuk menentukan luas luka bakar meliputi (1) rule of nine, (2) Lund and Browder, dan (3) hand palm. Ukuran luka bakar dapat ditentukan dengan menggunakan salah satu dari metode tersebut. Ukuran luka bakar ditentukan dengan prosentase dari permukaan tubuh yang terkena luka bakar. Akurasi dari perhitungan bervariasi menurut metode yang digunakan dan pengalaman seseorang dalam menentukan luas luka bakar.
Metode rule of nine mulai diperkenalkan sejak tahun 1940-an sebagai suatu alat pengkajian yang cepat untuk menentukan perkiraan ukuran / luas luka bakar. Dasar dari metode ini adalah bahwa tubuh di bagi kedalam bagian-bagian anatomic, dimana setiap bagian mewakili 9 % kecuali daerah genitalia 1 % (lihat gambar 1).
Pada metode Lund and Browder merupakan modifikasi dari persentasi bagian-bagian tubuh menurut usia, yang dapat memberikan perhitungan yang lebih akurat tentang luas luka bakar (lihat gambar 2)
Selain dari kedua metode tersebut di atas, dapat juga digunakan cara lainnya yaitu mengunakan metode hand palm. Metode ini adalah cara menentukan luas atau persentasi luka bakar dengan menggunakan telapak tangan. Satu telapak tangan mewakili 1 % dari permukaan tubuh yang mengalami luka bakar.

c. Lokasi luka bakar (bagian tubuh yang terkena)
Berat ringannya luka bakar dipengaruhi pula oleh lokasi luka bakar. Luka bakar yang mengenai kepala, leher dan dada seringkali berkaitan dengan komplikasi pulmoner. Luka bakar yang menganai wajah seringkali menyebabkan abrasi kornea. Luka bakar yang mengenai lengan dan persendian seringkali
membutuhkan terapi fisik dan occupasi dan dapat menimbulkan implikasi terhadap kehilangan waktu bekerja dan atau ketidakmampuan untuk bekerja secara permanen. Luka bakar yang mengenai daerah perineal dapat terkontaminasi oleh urine atau feces. Sedangkan luka bakar yang mengenai daerah torak dapat menyebabkan tidak adekwatnya ekspansi dinding dada dan terjadinya insufisiensi pulmoner.

d. Mekanisme injuri
Mekanisme injury merupakan faktor lain yang digunakan untuk menentukan berat ringannya luka bakar. Secra umum luka bakar yang juga mengalami injuri inhalasi memerlukan perhatian khusus.
Pada luka bakar elektrik, panas yang dihantarkan melalui tubuh, mengakibatkan kerusakan jaringan internal. Injury pada kulit mungkin tidak begitu berarti akan tetapi kerusakan otot dan jaringan lunak lainnya dapat terjad lebih luas, khususnya bila injury elektrik dengan voltage tinggi. Oleh karena itu voltage, tipe arus (direct atau alternating), tempat kontak, dan lamanya kontak adalah sangat penting untuk diketahui dan diperhatikan karena dapat mempengaruhi morbiditi.
Alternating current (AC) lebih berbahaya dari pada direct current (DC). Ini seringkali berhubungan dengan terjadinya kardiac arrest (henti jantung), fibrilasi ventrikel, kontraksi otot tetani, dan fraktur kompresi tulang-tulang panjang atau vertebra.
Pada luka bakar karena zat kimia keracunan sistemik akibat absorbsi oleh kulit dapat terjadi.

e. Usia
Usia klien mempengaruhi berat ringannya luka bakar. Angka kematiannya (Mortality rate) cukup tinggi pada anak yang berusia kurang dari 4 tahun, terutama pada kelompok usia 0-1 tahun dan klien yang berusia di atas 65 th.
Tingginya statistik mortalitas dan morbiditas pada orang tua yang terkena luka bakar merupakan akibat kombinasi dari berbagai gangguan fungsional (seperti lambatnya bereaksi, gangguan dalam menilai, dan menurunnya kemampuan mobilitas), hidup sendiri, dan bahaya-bahaya lingkungan lainnya. Disamping itu juga mereka lebih rentan terhadap injury luka bakar karena kulitnya menjadi lebih tipis, dan terjadi athropi pada bagian-bagian kulit lain. Sehingga situasi seperti ketika mandi dan memasak dapat menyebabkan terjadinya luka bakar.

F. MANAGEMENT PENATALAKSANAAN
Berbagai macam respon sistem organ yang terjadi setelah mengalami luka bakar menuntut perlunya pendekatan antar disiplin. Perawat bertanggung jawab untuk mengembangkan rencana perawatan yang didasarkan pada pengkajian data yang merefleksikan kebutuhan fisik dan psikososial klien dan keluarga atau orang lain yang dianggap penting. Secara klinis klien luka bakar dapat dibagi kedalam 3 fase, yaitu :
1. Fase Emergent (Resusitasi)
Fase emergensi dimulai pada saat terjadinya injury dan diakhiri dengan membaiknya permeabilitas kapiler, yang biasanya terjadi pada 48-72 jam setelah injury. Tujuan utama pemulihan selama fase ini adalah untuk mencegah shock hipovolemik dan memelihara fungsi dari organ vital. Yang termasuk ke dalam fase emergensi adalah (a) perawatan sebelum di rumah sakit, (b) penanganan di bagian emergensi dan (c) periode resusitasi.
Hal tersebut akan dibahas berikut ini :
a. Perawatan sebelum di rumah sakit (pre-hospital care)
Perawatan sebelum klien dibawa ke rumah sakit dimulai pada tempat kejadian luka bakar dan berakhir ketika sampai di institusi pelayanan emergensi. Pre-hospital care dimulai dengan memindahkan/menghindarkan klien dari sumber penyebab LB dan atau menghilangkan sumber panas.
Petunjuk perawatan klien luka bakar sebelum di rumah sakit

1) Jauhkan penderita dari sumber LB
a) Padamkan pakaian yang terbakar
b) Hilangkan zat kimia penyebab LB
c) Siram dengan air sebanyak-banyaknya bila karena zat kimia
d) Matikan listrik atau buang sumber listrik dengan menggunakan objek yang kering dan tidak menghantarkan arus (nonconductive)

2) Kaji ABC (airway, breathing, circulation):
a) Perhatikan jalan nafas (airway)
b) Pastikan pernafasan (breathibg) adekwat
c) Kaji sirkulasi

3) Kaji trauma yang lain
4) Pertahankan panas tubuh
5) Perhatikan kebutuhan untuk pemberian cairan intravena
6) Transportasi (segera kirim klien ka rumah sakit)
Diambil dari Trunkey, D.D. (1983). Transporting the critically burned patient. In T.L. Wachtel, et al. (Eds): Current Topics In Burn Care, Rockville, MD : Aspen Publications.

b. Penanganan dibagian emergensi
Perawatan di bagian emergensi merupakan kelanjutan dari tindakan yang telah diberikan pada waktu kejadian. Jika pengkajian dan atau penanganan yang dilakukan tidak adekuat, maka pre hospital care di berikan di bagian emergensi. Penanganan luka (debridemen dan pembalutan) tidaklah diutamakan bila ada masalah-masalah lain yang mengancam kehidupan klien, maka masalah inilah yang harus diutamakan
1) Penanganan Luka Bakar Ringan
Perawatan klien dengan LB ringan seringkali diberikan dengan pasien rawat jalan. Dalam membuat keputusan apakah klien dapat dipulangkan atau tidak adalah dengan memperhatikan antara lain a) kemampuan klien untuk dapat menjalankan atau mengikuti intruksi-instruksi dan kemampuan dalam melakukan perawatan secara mandiri (self care), b) lingkungan rumah. Apabila klien mampu mengikuti instruksi dan perawatan diri serta lingkungan di rumah mendukung terjadinya pemulihan maka klien dapat dipulangkan.
Perawatan di bagian emergensi terhadap luka bakar minor meliputi : menagemen nyeri, profilaksis tetanus, perawatan luka tahap awal dan pendidikan kesehatan.
a) Managemen nyeri
Managemen nyeri seringkali dilakukan dengan pemberian dosis ringan morphine atau meperidine dibagian emergensi. Sedangkan analgetik oral diberikan untuk digunakan oleh pasien rawat jalan.
b) Profilaksis tetanus
Petunjuk untuk pemberian profilaksis tetanus adalah sama pada penderita LB baik yang ringan maupun tipe injuri lainnya. Pada klien yang pernah mendapat imunisasi tetanus tetapi tidak dalam waktu 5 tahun terakhir dapat diberikan boster tetanus toxoid. Untuk klien yang tidak diimunisasi dengan tetanus human immune globulin dan karenanya harus diberikan tetanus toxoid yang pertama dari serangkaian pemberian imunisasi aktif dengan tetanus toxoid.
c) Perawatan luka awal
Perawatan luka untuk LB ringan terdiri dari membersihkan luka (cleansing) yaitu debridemen jaringan yang mati; membuang zat-zat yang merusak (zat kimia, tar, dll); dan pemberian/penggunaan krim atau salep antimikroba topikal dan balutan secara steril. Selain itu juga perawat bertanggung jawab memberikan pendidikan tentang perawatan luka di rumah dan manifestasi klinis dari infeksi agar klien dapat segera mencari pertolongan. Pendidikan lain yang diperlukan adalah tentang pentingnya melakukan latihan ROM (range of motion) secara aktif untuk mempertahankan fungsi sendi agar tetap normal dan untuk menurunkan pembentukan edema dan kemungkinan terbentuknya scar. Dan perlunya evaluasi atau penanganan follow up juga harus dibicarakan dengan klien pada waktu itu.
d) Pendidikan / penyuluhan kesehatan
Pendidikan tentang perawatan luka, pengobatan, komplikasi, pencegahan komplikasi, diet, berbagai fasilitas kesehatan yang ada di masyarakat yang dapat di kunjungi jika memmerlukan bantuan dan informasi lain yang relevan perlu dilakukan agar klien dapat menolong dirinya sendiri.
2) Penanganan Luka Bakar Berat.
Untuk klien dengan luka yang luas, maka penanganan pada bagian emergensi akan meliputi reevaluasi ABC (jalan nafas, kondisi pernafasan, sirkulasi ) dan trauma lain yang mungkin terjadi; resusitasi cairan (penggantian cairan yang hilang); pemasangan kateter urine; pemasangan nasogastric tube (NGT); pemeriksaan vital signs dan laboratorium; management nyeri; propilaksis tetanus; pengumpulan data; dan perawatan luka.
Berikut adalah penjelasan dari tiap-tiap penanganan tersebut, yakni sebagai berikut.

a) Reevaluasi jalan nafas, kondisi pernafasan, sirkulasi dan trauma lain yang mungkin terjadi.
Menilai kembali keadaan jalan nafas, kondisi pernafasan, dan sirkulasi unutk lebih memastikan ada tidaknya kegawatan dan untuk memastikan penanganan secara dini. Selain itu melakukan pengkajian ada tidaknya trauma lain yang menyertai cedera luka bakar seperti patah tulang, adanya perdarahan dan lain-lain perlu dilakukan agar dapat dengan segera diketahui dan ditangani.

b) Resusitasi cairan (penggantian cairan yang hilang)
Bagi klien dewasa dengan luka bakar lebih dari 15 %, maka resusitasi cairan intravena umumnya diperlukan. Pemberian intravena perifer dapat diberikan melaui kulit yang tidak terbakar pada bagian proximal dari ekstremitas yang terbakar. Sedangkan untuk klien yang mengalami luka bakar yang cukup luas atau pada klien dimana tempat – tempat untuk pemberian intravena perifer terbatas, maka dengan pemasangan kanul (cannulation) pada vena central (seperti subclavian, jugular internal atau eksternal, atau femoral) oleh dokter mungkin diperlukan.
Luas atau persentasi luka bakar harus ditentukan dan kemudian dilanjutkan dengan resusitasi cairan. Resusitasi cairan dapat menggunakan berbagai formula yang telah dikembangkan.

c) Pemasangan kateter urine
Pemasangan kateter harus dilakukan untuk mengukur produksi urine setiap jam. Output urine merupakan indikator yang reliable untuk menentukan keadekuatan dari resusitasi cairan.

d) Pemasangan nasogastric tube (NGT)
Pemasangan NGT bagi klien LB 20 % -25 % atau lebih perlu dilakukan untuk mencegah emesis dan mengurangi resiko terjadinya aspirasi. Disfungsi ganstrointestinal akibat dari ileus dapat terjadi umumnya pada klien tahap dini setelah luka bakar. Oleh karena itu semua pemberian cairan melalui oral harus dibatasi pada waktu itu.

e) Pemeriksaan vital signs dan laboratorium
Vital signs merupakan informasi yang penting sebagai data tambahan untuk menentukan adekuat tidaknya resuscitasi.
Pemeriksaan laboratorium dasar akan meliputi pemeriksaan gula darah, BUN (blood ures nitrogen), creatini, elektrolit serum, dan kadar hematokrit. Kadar gas darah arteri (analisa gas darah), COHb juga harus diperiksa, khususnya jika terdapat injuri inhalasi. Tes-tes laboratorium lainnya adalah pemeriksaan x-ray untuk mengetahui adanya fraktur atau trauma lainnya mungkin perlu dilakukan jika dibutuhkan. Monitoring EKG terus menerus haruslah dilakukan pada semua klien dengan LB berat, khususnya jika disebabkan oleh karena listrik dengan voltase tinggi, atau pada klien yang mempunyai riwayat iskemia jantung atau dysrhythmia.

f) Management nyeri
Penanganan nyeri dapat dicapai melalui pemberian obat narcotik intravena, seperti morphine. Pemberian melalui intramuskuler atau subcutan tidak dianjurkan karena absorbsi dari jaringan lunak tidak cukup baik selama periode ini bila hipovolemia dan perpindahan cairan yang banyak masih terjadi. Demikian juga pemberian obat-obatan untuk mengatasi secara oral tidak dianjurkan karena adanya disfungsi gastrointestial.

g) Perawatan luka
Luka yang mengenai sekeliling ekstremitas dan torak dapat mengganggu sirkulasi dan respirasi, oleh karena itu harus mendapat perhatian. Komplikasi ini lebih mudah terjadi selama resusitasi, bila cairan berpindah ke dalam jaringan interstitial berada pada puncaknya. Pada LB yang mengenai sekeliling ekstremitas, maka meninggikan bagian ekstremitas diatas jantung akan membantu menurunkan edema dependen; walaupun demikian gangguan sirkulasi masih dapat terjadi. Oleh karena pengkajian yang sering terhadap perfusi ekstremitas bagian distal sangatlah penting untuk dilakukan.
Perawatan luka dibagian emergensi terdiri dari penutupan luka dengan sprei kering, bersih dan baju hangat untuk memelihara panas tubuh. Klien dengan luka bakar yang mengenai kepala dan wajah diletakan pada posisi kepala elevasi dan semua ekstremitas yang terbakar dengan menggunakan bantal sampai diatas permukaan jantung. Tindakan ini dapat membantu menurunkan pembentukan edema dependent. Untuk LB ringan kompres dingin dan steril dapat mengatasi nyeri. Kemudian dibawa menuju fasilitas kesehatan.

2. Fase Akut
Fase akut dimulai ketika pasien secara hemodinamik telah stabil, permeabilitas kapiler membaik dan diuresis telah mulai. Fase ini umumnya dianggap terjadi pada 48-72 jam setelah injuri.
Fokus management bagi klien pada fase akut adalah sebagai berikut : mengatasi infeksi, perawatan luka, penutupan luka, nutrisi, managemen nyeri, dan terapi fisik.

a. Mengatasi infeksi ; Sumber-sumber infeksi pada klien dengan luka bakar meliputi autocontaminasi dari:
1) Oropharynx
2) Fecal flora
3) Kulit yg tidak terbakar dan
4) Kontaminasi silang dari staf
5) Kontaminasi silang dari pengunjung
6) Kontaminasi silang dari udara
Kegiatan khusus untuk mengatasi infeksi dan tehnik isolasi harus dilakukan pada semua pusat-pusat perawatan LB. Kegiatan ini berbeda dan meliputi penggunaan sarung tangan, tutp kepala, masker, penutup kaki, dan pakaian plastik. Membersihkan tangan yang baik harus ditekankan untuk menurunkan insiden kontaminasi silang diantara klien. Staf dan pengunjung umumnya dicegah kontak dengan klien jika ia menderita infeksi baik pada kulit, gastrointestinal atau infeksi saluran nafas.

b. Perawatan luka
Perawatan luka diarahkan untuk meningkatkan penyembuhan luka. Perawatan luka sehari-hari meliputi membersihkan luka, debridemen, dan pembalutan luka.

1) Hidroterapi
Membersihkan luka dapat dilakukan dengan cara hidroterapi. Hidroterapi ini terdiri dari merendam(immersion) dan dengan shower (spray). Tindakan ini dilakukan selama 30 menit atau kurang untuk klien dengan LB acut. Jika terlalu lama dapat meningkatkan pengeluaran sodium (karena air adalah hipotonik) melalui luka, pengeluaran panas, nyeri dan stress. Selama hidroterapi, luka dibersihkan secara perlahan dan atau hati-hati dengan menggunakan berbagai macam larutan seperti sodium hipochloride, providon iodine dan chlorohexidine. Perawatan haruslah mempertahankan agar seminimal mungkin terjadinya pendarahan dan untuk mempertahankan temperatur selama prosedur ini dilakukan. Klien yang tidak dianjurkan untuk dilakukan hidroterapi umumnya adalah mereka yang secara hemodinamik tidak stabil dan yang baru dilakukan skin graft. Jika hidroterapi tidak dilakukan, maka luka dapat dibersihkan dan dibilas di atas tempat tidur klien dan ditambahkan dengan penggunaan zat antimikroba.

2) Debridemen
Debridemen luka meliputi pengangkatan eschar. Tindakan ini dilakukan untuk meningkatkan penyembuhan luka melalui pencegahan proliferasi bakteri di bagian bawah eschar. Debridemen luka pada LB meliputi debridemen secara mekanik, debridemen enzymatic, dan dengan tindakan pembedahan.
a) Debridemen mekanik
Debridemen mekanik yaitu dilakukan secara hati-hati dengan menggunakan gunting dan forcep untuk memotong dan mengangkat eschar. Penggantian balutan merupakan cara lain yang juga efektif dari tindakan debridemen mekanik. Tindakan ini dapat dilakukan dengan cara menggunakan balutan basah ke kering (wet-to-dry) dan pembalutan kering kepada balutan kering (wet-to-wet). Debridemen mekanik pada LB dapat menimbulkan rasa nyeri yang hebat, oleh karena itu perlu terlebih dahulu dilakukan tindakan untuk mengatasi nyeri yang lebih efektif.
b) Debridemen enzymatic
Debridemen enzymatik merupakan debridemen dengan menggunakan preparat enzym topical proteolitik dan fibrinolitik. Produk-produk ini secara selektif mencerna jaringan yang necrotik, dan mempermudah pengangkatan eschar. Produk-prduk ini memerlukan lingkungan yang basah agar menjadi lebih efektif dan digunakan secara langsung terhadap luka. Nyeri dan perdarahan merupakan masalah utama dengan penanganan ini dan harus dikaji secara terus-menerus selama treatment dilakukan.
c) Debridemen pembedahan
Debridemen pembedahan luka meliputi eksisi jaringan devitalis (mati). Terdapat 2 tehnik yang dapat digunakan : Tangential Excision dan Fascial Excision.
Pada tangential exccision adalah dengan mencukur atau menyayat lapisan eschar yang sangat tipis sampai terlihat jaringan yang masih hidup. sedangkan fascial excision adalah mengangkat jaringan luka dan lemak sampai fascia. Tehnik ini seringkali digunakan untuk LB yang sangat dalam.

3) Balutan
a) Penggunaan penutup luka khusus 
Luka bakar yang dalam atau full thickness pada awalnya dilakukan dengan menggunakan zat / obat antimikroba topikal. Obat ini digunakan 1 - 2 kali setelah pembersihan, debridemen dan inspeksi luka. Perawat perlu melakukan kajian terhadap adanya eschar, granulasi jaringan atau adanya reepitelisasi dan adanya tanda – tanda infeksi. Umumnya obat – obat antimikroba yang sering digunakan tampak pada tabel dibawah. Tidak ada satu obat yang digunakan secara umum, oleh karena itu dibeberapa pusat pelayanan luka bakar ada yang memilih krim silfer sulfadiazine sebagai pengobatan topikal awal untuk luka bakar.
b) Metode terbuka dan tertutup
Luka pada LB dapat ditreatmen dengan menggunakan metode/tehnik belutan baik terbuka maupun tertutup. Untuk metode terbuka digunakan / dioleskan cream antimikroba secara merata dan dibiarkan terbuka terhadap udara tanpa dibalut. Cream tersebut dapat diulang penggunaannya sesuai kebutuhan, yaitu setiap 12 jam sesuai dengan aktivitas obat tersebut. kelebihan dari metode ini adalah bahwa luka dapat lebih mudah diobservasi, memudahkan mobilitas dan ROM sendi, dan perawatan luka menjadi lebih sederhana/mudah. Sedangkan kelemahan dari metode ini adalah meningkatnya kemungkinan terjadinya hipotermia, dan efeknya psikologis pada klien karena seringnya dilihat.
Pada perawatan luka dengan metode tertutup, memerlukan bermacam-macam tipe balutan yang digunakan. Balutan disiapkan untuk digunakan sebagai penutup pada cream yang digunakan. Dalam menggunakan balutan hendaknya hati-hati dimulai dari bagian distal kearah proximal untuk menjamin agar sirkulasi tidak terganggu. Keuntungan dari metode ini adalah mengurangi evavorasi cairan dan kehilangan panas dari permukaan luka , balutan juga membantu dalam debridemen. Sedangkan kerugiannya adalah membatasi mobilitas menurunkan kemungkinan efektifitas exercise ROM. Pemeriksaan luka juga menjadi terbatas, karena hanya dapat dilakukan jika sedang mengganti balutan saja.
c) Penutupan luka
Penutupan Luka Sementara sering digunakan sebagai pembalut luka. Setiap produk penutup luka tersebut mempunyai indikasi khusus. Karakteristik luka (kedalamannya, banyaknya eksudat, lokasi luka pada tubuh dan fase penyembuhan/pemulihan) serta tujuan tindakan/pengobatan perlu dipertimbangkan bila akan memilih penutup luka yang lebih tepat.

c. Terapi fisik
Tindakan-tindakan yang digunakan untuk mencegah dan menangani kontraktur meliputi terapi posisi, ROM exercise, dan pendidikan pada klien dan keluarga.
1) Posisi Terapeutik
Tabel dibawah ini merupakan daftar tehnik-tehnik posisi koreksi dan terapeutik untuk klien dengan LB yang mengenai bagian tubuh tertentu selama periode tidak ada aktifitas (inactivity periode) atau immobilisasi. Tehnik-tehnik posisi tersebut mempengaruhi bagian tubuh tertentu dengan tepat untuk mengantisipasi terjadinya kontraktur atau deformitas.
2) Exercise
Latihan ROM aktif dianjurkan segera dalam pemulihan pada fase akut untuk mengurangi edema dan mempertahankan kekuatan dan fungsi sendi. Disamping itu melakukan kegiatan/aktivitas sehari-hari (ADL) sangat efektif dalam mempertahankan fungsi dan ROM. Ambulasi dapat juga mempertahankan kekuatan dan ROM pada ekstremitas bawah dan harus dimulai bila secara fisiologis klien telah stabil. ROM pasif termasuk bagian dari rencana tindakan pada klien yang tidak mampu melakukan latihan ROM aktif.
3) Pembidaian (Splinting)
Splint digunakan untuk mempertahankan posisi sendi dan mencegah atau memperbaiki kontraktur. Terdapat dua tipe splint yang seringkali digunakan, yaitu statis dan dinamis. Statis splint merupakan immobilisasi sendi. Dilakukan pada saat immobilisasi, selama tidur, dan pada klien yang tidak kooperatif yang tidak dapat mempertahankan posisi dengan baik. Berlainan halnya dengan dinamic splint. Dinamic splint dapat melatih persendian yang terkena.
4) Pendidikan
Pendidikan pada klien dan keluarga tentang posisi yang benar dan perlunya melakukan latihan secara kontinue. Petunjuk tertulis tentang berbagai posisi yang benar, tentang splinting/pembidaian dan latihan rutin dapat mempermudah proses belajar klien dan dapat menjadi lebih kooperatif.

3. Fase Rehabilitasi
Fase rehabilitasi adalah fase pemulihan dan merupakan fase terakhir dari perawatan luka bakar. Penekanan dari program rehabilitasi penderita luka bakar adalah untuk peningkatan kemandirian melalui pencapaian perbaikan fungsi yang maksimal. Tindakan-tindakan untuk meningkatkan penyembuhan luka, pencegahan atau meminimalkan deformitas dan hipertropi scar, meningkatkan kekuatan dan fungsi dan memberikan support emosional serta pendidikan merupakan bagian dari proses rehabilitasi.

G. PERHATIAN KHUSUS ASPEK PSIKOSOSIAL
Rehabilitasi psikologis adalah sama pentingnya dengan rehabilitasi fisik dalam keseluruhan proses pemulihan. Banyak sekali respon psikologis dan emosional terhadap injuri luka bakar yang dapat diidentifikasi, mulai dari “ketakutan sampai dengan psikosis” . Respon penderita dipengaruhi oleh usia, kepribadian (personality), latar belakang budaya dan etnic, luas dan lokasi injuri, dan akibatnya pada body image. Disamping itu, berpisah dari keluarga dan teman-teman, perubahan pada peran normal klien dan tanggungjawabnya mempengaruhi reaksi terhadap trauma LB.

REFERENSI 
  • Doenges, M.E., et al. (1995). Nursing care plans guidelines for planning patient care. (2nd ed.). Philadelphia: F.A. Davis Co.
  • Luckmann & Sorensen. (1993). Medical-surgical nursing a psychophysiologic approach, (4th ed.). Philadelphia: W.B. Saunder Co.
  • Nettina, S. (1996). The Lippincott manual of nursing practice. (6th ed.). Lippincott: Lippincott-Raven Publisher.
  • Thompson, J.M. (1987). Clinical nursing. St. Louis: Mosby.

SYOK KARDIOGENIK

Syok merupakan suatu keadaan patofisiologik dinamik yang terjadi bila oxygen delivery ke mitokondria sel di seluruh tubuh manusia tidak mampu memenuhi kebutuhan oxygen consumption. Sebagai respon terhadap pasokan oksigen yang tidak cukup ini, metabolisme energi sel menjadi anaerobik. Keadaan ini hanya dapat ditoleransi tubuh untuk waktu yang terbatas, selanjutnya dapat timbul kerusakan irreversible pada organ vital.1
Pada tingkat multiseluler, tidak semua jaringan dan organ secara klinis terganggu akibat kurangnya oksigen pada saat syok. Alfred Blalock membagi jenis syok menjadi 4 antara lain syok hipovolemik, syok kardiogenik, syok septik, syok neurogenik.2,3
Diseluruh dunia terdapat 6-20 juta kematian akibat syok tiap tahun, meskipun penyebabnya berbeda tiap-tiap negara.4
Diagnosa adanya syok harus didasarkan pada data-data baik klinis maupun laboratorium yang jelas, yang merupakan akibat dari kurangnya perfusi jaringan. Syok bersifat progresif dan terus memburuk jika tidak segera ditangani. Syok mempengaruhi kerja organ-organ vital dan penanganannya memerlukan pemahaman tentang patofisiologi syok.5 Penatalaksanaan syok dilakukan seperti pada penderita trauma umumnya yaitu primary survey ABCDE. Tatalaksana syok bertujuan memperbaiki gangguan fisiologik dan menghilangkan faktor penyebab.4
            A. Definisi
          Syok merupakan keadaan darurat yang disebabkan oleh kegagalan perfusi darah ke jaringan, sehingga mengakibatkan gangguan metabolisme sel.  Kematian karena syok terjadi bila keadaan ini menyebabkan gangguan nutrisi dan metabolism sel. Terapi syok bertujuan memperbaiki gangguan fisiologik dan menghilangkan faktor penyebab. Syok sirkulasi dianggap sebagai rangsang paling hebat dari hipofisis adrenalin sehingga menimbulkan akibat fisiologi dan metabolisme yang besar. Syok didefinisikan juga sebagai volume darah sirkulasi tidak adekuat yang mengurangi perfusi, pertama pada jaringan nonvital (kulit, jaringan ikat, tulang, otot) dan kemudian ke organ vital (otak, jantung, paru- paru, dan ginjal). Syok atau renjatan merupakan suatu keadaan patofisiologis dinamik yang mengakibatkan hipoksia jaringan dan sel.5
          B. Etiologi
Syok kardiogenik, kegagalan kerja jantung. Gangguan perfusi jaringan yang disebabkan karena disfungsi jantung misalnya : aritmia, AMI (Infark Miokard Akut).
C. Patofisiologi
Patofisiologi yang mendasari syok kardiogenik adalah depresi kontraktilitas miokard yang mengakibatkan lingkaran setan penurunan curah jantung, tekanan darah rendah,insufisiensi koroner, dan selanjutnya terjadi penurunan kontraktilitas dan curah jantung. Syok kardiogenik ditandai dengan gangguan fungsi ventrikel kiri, yang mengakibatkan gangguan berat pada pefusi jaringan dan penghantaran oksigen ke jaringan. Yang khas pada syok kardiogenik oleh infark miokardium akut adalah hilangnya 40% atau lebih jaringan otot pada ventrikel kiri. Selain dari kehilangan masif jaringan otot ventrikel kiri juga ditemukan daerah-daerah nekrosis fokal diseluruh ventrikel. Nekrosis fokal diduga merupakan kibat dari ketidak seimbangan yang terus-menerus antara kebutuhan dan suplai oksigen miokardium. Pembuluh koroner yang terserang juga tidak mampu meningkatkan alira darah secara memadai sebagai respon terhadap peningkatan beban kerja dan kebutuhan oksigen jantung oleh aktivitas respon kompensatorik seperti perangsangan simpatik. Sebagai akibat dari proses infark, kontraktilitas ventrikel kiri dan kinerjanya menjadi sangat terganggu.
Ventrikel kiri gagal bekerja sebagai pompa dan tidak mampu menyediakan  curah jantung yang memadai untuk mempertahankan perfusi jaringan. Maka dimulailah siklus berulang. Siklus dimulai dengan terjadinya infark yang berlanjut dengan gangguan fungsi miokardium. Gangguan fungsi miokardium yang berat akan menyebabkan menurunnya curah jantung dan hipotensi arteria. Akibatnya terjadinya asidosis metabolik dan  menurunnya perfusi koroner, yang lebih lanjut mengganggu fungsi ventrikel dan menyebabkan terjadinya aritmia.
D. Diagnosis
Syok kardiogenik dapat didiagnosa dengan mengetahui adanya tanda-tanda syok dan dijumpai adanya penyakit jantung, seperti infark miokard yang luas, gangguan irama jantung, rasa nyeri daerah torak, atau adanya emboli paru, tamponade jantung, kelainan katub atau sekat jantung.10

Syok kardiogenik ditandai dengan tekanan sistolik rendah (kurang dari 90 mmHg), diikuti menurunnya aliran darah ke organ vital : 8,10

a. Produksi urin kurang dari 20 ml/jam
b. Gangguan mental, gelisah, sopourus
c. Akral dingin
d. Aritmia yang serius, berkurangnya aliran darah koroner, meningkatnya laktat kardial.
e. Meningkatnya adrenalin, glukosa, free fatty acid cortisol, rennin, angiotensin plasma serta menurunnya kadar insulin plasma.

Pada keadaan lanjut akan diikuti hipoksemia primer ataupun sekunder, terjadi karena ketidakseimbangan ventilasi-perfusi, hipovolemia, dan asidosis metabolik. Hipovolemia merupakan komplikasi yang sering terjadi pada syok kardiogenik, disebabkan oleh meningkatnya redistribusi cairan dari intravaskular ke interstitiel, stres akut, ataupun penggunaan diuretika.10

Kriteria hemodiamik syok kardiogenik adalah hipotensi terus menerus (tekanan darah sistolik < 90 mmHg lebih dari 90 menit) dan bekurangnya cardiac index (<2,2/menit per m2) dan meningginya tekanan kapiler paru (>15 mmHg).10


Diagnosis dapat juga ditegakkan sebagai berikut: 10
1.      Tensi turun : sistolik < 90 mmHg atau menurun lebih dari 30-60 mmHg dari semula, sedangkan tekanan nadi < 30 mmHg.
2.      Curah jantung, indeks jantung < 2,1 liter/menit/m2.
3.      Tekanan di atrium kanan (tekanan vena sentral) biasanya tidak turun, normal, rendah sampai meninggi.
4.      Tekanan diatrium kiri (tekanan kapiler baji paru) rendah sampai meninggi.
5.      Resistensi sistemis.
6.      Asidosis.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang segera dilakukan :10
1.    Serum elektrolit, fungsi ginjal dan fungsi hepar.
2.    Jumlah sel darah merah, leukosit (infeksi), trombosit (koagulopati)
3.    Enzim Jantung (Creatinine Kinase, troponin, myoglobin, LDH)
4.    Analisa gas darah arteri, dapat menggambarkan keseimbangan asam-basa dan kadar oksigen. Defisit basa penting, menggambarkan kejadian dan derajat renjatan, harus dipantau terus selama resusitasi.
5.    Pemeriksaan serial kadar laktat, menggambarkan hipoperfusi dan prognosis.
Pemeriksaan yang harus direncanakan adalah EKG, ekokardiografi. foto polos dada.
E. Tatalaksana dan komplikasi
          Prehospital care: bertujuan untuk meminimalisir iskemik dan syok yang sedang terjadi. Pasien dipasang akses intravena, oksigen high flow, dan monitor jantung/ EKG. Dengan EKG dapat segera dideteksi terjadinya ST elevasi yang terjadi pada infark miokard. Obat-obatan inortropik sebaiknya dipersiapkan. Bila perlu, dapat dilakukan pemberian ventilasi tekanan positif dan intubasi. Pemasangan CPAP (Continuous positive airway pressure) atau BIPAP (bilevel positive airway pressure) dapat dipertimbangkan. Berikut adalah algoritme sindroma koroner akut. Gambar 2.720


Berdasarkan penelitian yang terdahulu, terapi pilihan untuk syok tipe ini adalah percutaneus coronary intervention (PCI) atau bypass arteri koroner. Dengan terapi ini maka angka kematian dapat turun dalam 1 tahun pertama. PCI terbaik dilakukan saat onset dengan kejadian infark sekitar 90 menit sampai 12 jam pertama. Jika fasilitas seperti ini tidak ada, maka terapi dengan trombolitik dapat dipertimbangkan. Beberapa penelitian menunjukkan pemberian trombolitik pada tekanan darah yang rendah tidak dapat mengakibatkan lisis thrombus di pembuluh darah. Tatalaksana dimulai dengan manajemen ABC. Pada pasien yang sangat sesak dapat dipertimbangkan intubasi dan ventilasi mekanik. Pemberian vasopresor intravena baik untuk meningkatkan inortropik dan memaksimalkan perfusi ke miokardium yang iskemik. Yang perlu diperhatikan, pemberian vasopresor itu sendiri dapat berakibat peningkatan denyut jantung yang pada akhirnya akan memperluas infark yang telah terjadi. Sehingga penggunaan vasopresor di sini harus digunakan secara hati-hati. Beberapa vasopresor yang dapat diberikan seperti: 20, 21
a. Dopamin, dengan dosis tinggi mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen miokard, dosis yang digunakan 5-10 mcg/kg/min
b. Dobutamin selain memiliki sifat inortropik tetapi juga memiliki efek vasodilatasi sehingga dapat mengurangi preload dan afterload
c. Norepinefrin per infus dapat diberikan pada syok kardiogenik yang refrakter, obat ini dapat mengakibatkan peningkatan afterload, dosis yang dapat digunakan 0.5 mcg/kg/min
Preparat nitrat atau morfin digunakan untuk analgetik, tetapi perlu diingat bahwa keduanya dapat mengakibatkan hipotensi sehingga jangan sampai memperparah keadaan syok pasien dengan pemberian preparat ini. Alat yang dapat membantu pasien dalam syok kardiogenik secara mekanis yakni intraaortic balloon pump (IABP) bermanfaat terutama pada syok kardiogenik yang sudah tidak dapat ditangani dengan obat-obatan. 20
Antiagregasi trombosit seperti aspirin tersedia dalam 81 mg, 325 mg, 500 mg, dapat menurunkan mortalitas akibat infark miokard. Vasodilator yang juga dapat digunakan adalah nitrogliserin IV yang bekerja dengan merelaksasikan otot polos pembuluh darah sehingga menurunkan resistensi perifer. 20
Beberapa komplikasi syok kardiogenik: 20
  1. Henti jantung
  2. Disritmia
  3. Gagal ginjal
  4. Kegagalan multiorgan
  5. Aneurisma ventrikel
  6. Sekuele tromboembolik
  7. Stroke
  8. Kematian 

DAFTAR PUSTAKA
1.      Sjamsuhidayat, Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC; 2005. 119-24.
2.      Udeani J. Shock, Hemorrhagic. 2008 [cited November 26th 2011]. http://emedicine.medscape.com/article/432650-overview
3.      Krausz. Initial Resuscitation Of Hemorrhagic Shock. World Jurnal of Emergency Surgery. 2006. 1-14
4.      American College of Surgeons Committe On Trauma. Advanced Trauma Life Support Untuk Dokter. 1997.  89-115
5.      Anderson SP, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit jilid 1, edisi 4.1995. Jakarta: EGC.
6.      Stern SA. Low-volume fluid resuscitation for presumed hemorrhagic shock: Helpful or harmful? Curr Opin Crit Care 7:422, 2001
7.      Japardi, Iskandar. 2002. Manifestasi Neurologik Shock Sepsis. http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi20.pdf
8.      Franklin C M, Darovic G O, Dan B B. Monitoring the Patient in Shock. Dalam buku: Darovic G O, ed, Hemodynamic Monitoring: Invasive and Noninvasive Clinical Application. USA : EB. Saunders Co. 1995 ; 441 - 499.
9.      Schwarz A, Hilfiker ML.Shock. update October 2004 http:/www/emedicine.com/ped/topic3047
10.  Patrick D. At a Glance Medicine, Norththampon : Blackwell Science Ltd, 2003
11.  Bartholomeusz L, Shock, dalam buku: Safe Anaesthesia, 1996; 408-413
12.      Kolecki P, author. Hypovolemic shock [monograph on the Internet]. Washington:Medscape reference; 2010 [cited 2011 Nov 29]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/760145-treatment
13.      American College of Surgeons Committe On Trauma. Advanced Trauma Life Support Untuk Dokter. 1997.  89-115
14.      Rifki. Syok dan penanggulangannya. FKUA. Padang.1999
15.      Krausz. Initial Resuscitation Of Hemorrhagic Shock. World Jurnal of Emergency Surgery. 2006. 1-14
16.      Martel MJ. Hemorrhagic shock. J Obstet Gynaecol Can. Vol 24 (6). 2002. 504-11
17.      Stern SA. Low-volume fluid resuscitation for presumed hemorrhagic shock: Helpful or harmful? Curr Opin Crit Care 7:422, 2001
18.      Bozeman P WShock, Hemorrhagic. 2007 [cited Mei 10th 2011]. http://www.emedicine.com
19.      Demling RH, Wilson RF. Decision making in surgical care. B.C. Decker Inc. 1988.64
20.      Brandler ES, editor. Cardiogenic shock in emergency medicine [monograph on the Internet]. Washington:Medscape reference; 2010 [cited 2011 Nov 29]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/759992-treatment
21.      Lenneman A, Ooi HH, editors. Cardiogenic shock. [monograph on the Internet]. Washington:Medscape reference; 2010 [cited 2011 Nov 29]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/152191-treatment
22.      Suryono B. Diagnosis dan pengelolaan syok pada dewasa. [Clinical updates emergency case]. FK UGM: RSUP dr. Sadjito, 2008