Selasa, 10 November 2015

Musim Hujan Datang; WASPADA DBD (Demam Berdarah Dengue)




Datangnya hujan setelah lama kemarau, tentu menjadi anugerah tersendiri bagi berbagai lapisan masyaratak. Udara yang sebelumnya panas dan kering kini menjadi lebih teduh dan juga sejuk. Menjadi landasan syukur  bagi seluruh umat di Indonesia.

Namun bersamaan dengan itu, pola hidup mayoritas masyarakat Indonesia yang kurang peka terhadap lingkungan, sering menjadi bumerang bagi pelaku bahkan orang lain yang tidak bersalah. Sampah yang berserakan dimana-mana, ketika hujan akan tergenang air ketika hujan datang. Genangan air tersebut menjadi tempat berkembang biar bagi berbagai patogen terutama yang sering menjadi masalah di Indonesia adalah Nyamuk Aedes aegypti yang menyebabkan penyakit Demam Bedarah Dengue (DBD). 


Pada tahun 2014, tercatat di 34 provinsi di Indonesia sebanyak 71.668 orang menderita DBD, dan 641 diantaranya meninggal dunia. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan tahun 2013 dengan jumlah penderita sebanyak 112.511 orang dan jumlah kasus meninggal sebanyak 871 penderita. (Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kemenkes RI, Prof. dr. Tjandra yoga Aditama, Sp.P(K), MARS, DTM&H, DTCE)

Apakah penyakit DBD (Demam Bedarah Dengue) itu?
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue yang ditularkan antar manusia melalui gigitan nyamuk jenis Aedes (terutama Aedes aegypti). Nyamuk ini banyak terdapat hampir di seluruh Indonesia terutama daerah tropis (sangat jarang di tempat yang memiliki ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut (dpl)).
Faktor lingkungan memiliki peran penting dalam kejadian DBD ini, terutama kerbersihan lingkungan.




Bagaimana siklus penularan DBD?


Virus dengue biasanya akan menginfeksi nyamuk Aedes betina saat dia menghisap darah dari seseorang yang sedang dalam fase demam akut (viraemia), yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul. Nyamuk menjadi infektif 8-12 hari (periode inkubasi ekstrinsik) sesudah mengisap darah penderita yang sedang viremia dan tetap infektif selama hidupnya.

Setelah melalui periode inkubasi ekstrinsik tersebut, kelenjar ludah nyamuk bersangkutan akan terinfeksi dan virusnya akan ditularkan ketika nyamuk tersebut menggigit dan mengeluarkan cairan ludahnya ke dalam luka gigitan ke tubuh orang lain. Setelah masa inkubasi di tubuh manusia selama 34 hari (rata-rata selama 4-6 hari) timbul gejala awal penyakit.


Bagaimana ciri-ciri Demam Berdarah Dengue (DBD)?


Gejala awal DBD antara lain demam tinggi mendadak berlangsung sepanjang hari, nyeri kepala, nyeri saat menggerakan bola mata dan nyeri punggung, kadang disertai adanya tanda-tanda perdarahan, pada kasus yang lebih berat dapat menimbulkan nyeri ulu hati, perdarahan saluran cerna, syok, hingga kematian. Masa inkubasi penyakit ini 3-14 hari, tetapi pada umumnya 4-7 hari. 

Belum ada obat dan vaksin untuk mencegah DBD. Pengobatan terhadap penderita hanya bersifat simtomatis dan suportif, ujar Menkes.

Bagaimana cara mencegah Demam Berdarah Dengue (DBD)?


Pola hidup yang sehat antar lini masyarakat terutama menyenai kebersihan, dapat sangat menekan prevalensi terjadinya Demam Berdarah Dengue (DBD) terutama dampak negatif yang timbul saat musim penghujan. Departemen Kesehatan RI sangat mewanti-wanti masyarakat Indonesia mengenai hal pencegahan DBD guna menekan pesakitan akibat Virus mematikan tersebut. Berikut brosur mengenai kewaspadaan terhadap Demam berdarah dengue (DBD).


Referensi; Depkes RI

Kamis, 05 November 2015

TIFOID (Tiphus/ Tipes)


http://www.google.co.id/imgres?imgurl=https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhq2LxDlB1bTq7eV7jYPTuYYH_6sbd4v7QeeA71yI8PTmMgiRK4l2jasPFYt2HVEu_2uiqFaoXnGuFU_rYkVTsGl5j6UEGdW0dn81n8SdjKeE82i-vyhe_26QDDp0p1sLsJh8iAHxPH4gOw/s1600/Typhoid-Fever.jpg&imgrefurl=http://www.gist360.com/2014/08/typhoid-symptoms-diagnosis-treatment.html&h=300&w=400&tbnid=CXG60fyK8-i9wM:&docid=nPEcika6VIuTSM&ei=3g07VqezNYu30ATok5GoBw&tbm=isch&ved=0CD4QMygOMA5qFQoTCKeamMPp-MgCFYsblAod6EkEdQ
Definisi dan Epidemiologi
Infeksi sistemik oleh bakteri Salmonella sp. Sebagian besar kasus terjadi pada anak berusia >5 tahun tetapi gejala dan tanda klinisnya masih sangat luas sehingga sukar didiagnosis.
Etiologi
Sekitar 95% kasus demam tifoid di Indonesia disebabkan oleh S. typhi, sementara sisanya disebabkan oleh S. paratyphi. Keduanya merupakan bakteri Gram-negatif. Bakteri ini memiliki masa inkubasi sekitar 10-14 hari.
Patogenesis
Bakteri awalnya masuk bersama makanan hingga mencapai epitel usus halus (ileum) dan menyebabkan inflamasi lokal, fagositosis, serta pelepasan endotoksin di lamina propria. Bakteri kemudian menembus dinding usus hingga mencapai jaringan limfoid ileum yang disebut plak Peyeri. Dari tempat tersebut, bakteri dapat masuk ke aliran limfe mesenterika hingga ke aliran darah (bakteremia I) bertahan hidup dan mencapai jaringan retikuloendotelial (hepar, limpa, sumsum tulang) untuk bermultiplikasi memproduksi enterotoksin yang meningkatkan kadar CAMP di dalam kripta usus yang menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke lumen interstinal. Selanjutnya, bakteri kembali beredar ke sirkulasi sistemik (bakteremia II) dan menginvasi organ lain, baik intra maupun ekstraintestinal.
http://wirawan-lesmana.blogspot.co.id/2010/09/askep-anak-dengan-demam-tifoid.html
Tanda dan Gejala


  • Masa inkubasi (10-14 hari): asimtomatis;
  • Fase invasi. Demam ringan, naik secara bertahap, terkadang suhu malam lebih tinggi dibandingkan pagi hari. Gejala lainnya ialah nyeri kepala, rasa tidak nyaman pada saluran cerna, mual, muntah, sakit perut, batuk, lemas, konstipasi;
  • Di akhir minggu pertama, demam telah mencapai suhu tertinggi dan akan konstan tinggi selama minggu kedua. Tanda lainnya ialah bradikardia relatif, pulsasi dikrotik, hepatomegali, splenomegali, lidah tifoid (di bagian tengah kotor, di tepi hiperemis), serta diare dan konstipasi;
  • Stadium evolusi. Demam mulai turun perlahan tetapi dalam waktu yang cukup lama. Dapat terjadi komplikasi perforasi usus. Pada sebagian kasus, bakteri masih ada dalam jumlah minimal (menjadi karier kronis).
Pemeriksaan Penunjang


  • Laboratorium hematologi rutin: anemia, leukopenia, an-eosinofilia, limfositosis relatif, atau trombositopenia (pada kasus berat);
  • Peningkatan laju endap darah (LED);
  • Peningkatan enzim transaminase;
  • Serologi: antibodi IgM 09 Salmonella thypii;
  • Pemeriksaan radiologik:
    • Rontgen toraks apabila diduga terjadi komplikasi pneumonia
    • Rontgen abdomen bila dicurigai terjadi kompikasi intraintestinal (peritonitis, perforasi usus atau perdarahan saluran cerna)
Diagnosis

http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http://mayaclinic.in/patient-education/wp-content/uploads/2014/08/typhoid.jpg&imgrefurl=http://mayaclinic.in/patient-education/typhoid-fever-things-we-should-know/&h=228&w=300&tbnid=hmizpvncS7OGoM:&docid=eIEzh4WF2AsXiM&ei=3g07VqezNYu30ATok5GoBw&tbm=isch&ved=0CEIQMygSMBJqFQoTCKeamMPp-MgCFYsblAod6EkEdQDiagnosis demam tifoid ditegakkan apabila ditemukan gejala klinis tifoid yang didukung dengan minimal salah satu pemeriksaan penunjang berikut:
  • Uji diagnostik lainnya yang lebih sensitif dan spesifik, seperti serologi IgM, immunoblotting (Typhi-dot), DNA probe, serta pemeriksaan PCR.
  • Biakan Salmonella typhi.
 
Diagnosis Banding
Influenza, gastroenteritis, bronkitis dan bronkopneumonia. Pada demam tifoid yang berat maka
sepsis, leukemia, limfoma, dan penyakit Hodgin dapat dipertimbangkan.
Komplikasi
  • Peritonitis dan perdarahan saluran cerna: suhu menurun, nyeri abdomen, muntah, nyeri tekan pada palpasi, bising usung menurun atau menghilang, ditemukan defans muskular, dan pekak hati menghilang;
  • Perforasi intestinal;
  • Ensefapaloti tifoid (toxic typhoid);
  • Hepatitis tifosa.
Tata Laksana
  1. Suportif: Tirah baring, isolasi memadai, serta kebutuhan cairan dan kalori yang adekuat. Berikan diet makanan lunak (mudah dicerna) dan tidak berserat, Setelah demam menurun, dapat diberikan makanan yang lebih padat dengan kalori terpenuhi sesuai kebutuhan.
  2. Medikamentosa:
    • Antibiotik:
      • Lini pertama:
        • Kloramfenikol 100 mg/KgBB/hari per oral atau intravena, dibagi dalam 4 dosis, selama 10-14 hari atau sampai 5-7 hari setelah demam turun. Kloramfenikol tidak diberikan apabila leukosit >2000/uL;
        • Amoksisilin 100 mg/KgBB/hari per oral atau intravena selama 10 hari;
        • Kotrimoksazol (Sulfamethoxazole/TMP) 6-8 mg/KgBB/hari 3 bulan 7 hari dibagi 2 dosis.
      • Lini kedua (Multidrug resistant S. thypii):
        • Seftriakson 80 mg/KgBB/hari intravena atau intramuskular, sekali sehari, selama 5 hari.
        • Sefiksim 10 mg/KgBB/kali per oral, dibagi dalam 2 dosis, selama 10 hari.
        • Kortikosteroid diberikan pada kasus berat dengan penurunan kesadaran: deksametason 1-3 mg/KgBB/hari intravena, dibagi 3 dosis, hingga kesadaran membaik.
        • Pertimbangkan transfusi darah pada kasus perdarahan saluran cerna.
      • Tindakan bedah diperlukan bila terjadi perforasi usus.
Referensi
  1. Pudjiadi AH, Hegar B, Hardyastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED, penyunting. Pedoman pelayanan medis Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2011.
  2. Cleary TG. Salmonella. Dalam: Kliegman RM, Stanton BM, Geme J, Schor N, Behrman RE, penyunting. Nelson's textbook of pediatrics. Edisi ke- 19. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011.
  3. Sumarmo SPS, Herry G, Sri RSH, Hindra IS, penyunting. Buku ajar infeksi dan pediatri tropis. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2012.

Rabu, 04 November 2015

DIFTERI


Definisi dan Epidemiologi
Infeksi akut yang disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriare. Infeksi ini sering mengenai saluran pernapasan atas. Indonesia termasuk negara yang endemik difteria dengan insidens tertinggi pada usia 2-5 tahun, meski bergantung juga dengan status imunitas populasi setempat. Bayi usia <6 bulan dan anak usia >10 tahun jarang terdiagnosis difteria. Faktor sosial ekonomi, pemukiman yang padat, nutrisi yang kurang, terbatasnya fasilitas kesehatan merupakan faktor yang berperan untuk timbulnya penyakit ini.
http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http://textbookofbacteriology.net/corynebacterium.jpg&imgrefurl=http://textbookofbacteriology.net/diphtheria.html&h=332&w=432&tbnid=d4IuPJQ50W8d6M:&docid=EzcqIWXXWL0FfM&ei=vAA7Vt7uHsLP0gTx65SwDA&tbm=isch&ved=0CBsQMygAMABqFQoTCN688f_c-MgCFcKnlAod8TUFxg
Etiologi
Bakteri C. diphtheriare Gram positif, non-motil, dan tidak membentuk spora. Pada pemeriksaan mikroskopis, tampak bakteri berbentuk basil yang tersusun paralel membentuk huruf "V". Masa inkubasi kuman 2-6 hari. Transimisi paling sering dari orang yang sakit difteria sebelumnya atau 'karier' akibat penularan droplet.
Patogenesis dan Patofisiologi
Basil C. diphtheriare bermultiplikasi di saluran pernapasan atas yang ditularkan melalui kontak dengan pasien atau droplet. Meski jarang, multiplikasi dapat juga terjadi pada mukosa lainnya seperti vulva, kulit, konjungtiva, umbilikus, dan telinga. Basil akan membentuk pseudomembran dan menghasilkan eksotoksin yang awalnya bersifat lokal, kemudian menyebar secara limfogen dan hematogen, seperti:
  • Kelenjar getah bening regional (pembesaran dan edema; disebut juga "bullneck"),
  • Jantung (inflamasi dan degenerasi miokardium),
  • Ginjal dan hati (nekrosis lokal, interstitial nefritis),
  • Jaringan saraf (destruksi dan degenerasi selubung mielin, edema akson).
 

Tanda dan Gejala
http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http://intranet.tdmu.edu.ua/data/kafedra/internal/pediatria2/classes_stud/en/med/lik/ptn/Childrens%252520infectious%252520diseases/5/Lesson%2525203.%252520Diphtheria.Infectious_mononucleosis.Mumps.Whooping%252520cough.files/image048.jpg&imgrefurl=http://intranet.tdmu.edu.ua/data/kafedra/internal/pediatria2/classes_stud/en/med/lik/ptn/Childrens%2520infectious%2520diseases/5/Lesson%25203.%2520Diphtheria.Infectious_mononucleosis.Mumps.Whooping%2520cough.htm&h=282&w=448&tbnid=pbudlfl1rh9uRM:&docid=N7JbDR6QRZQ2uM&itg=1&ei=GwE7VojfLcav0gSLrovgCg&tbm=isch&ved=0CEYQMygkMCRqFQoTCMjYpq3d-MgCFcaXlAodC9cCrA
Tanda patognomonik difteria ialah ditemukannya pseudomembran, yaitu jaringan nekrotik dan fibrin yang berwarna abu-abu keputihan, sulit untuk dilepaskan, dan mudah berdarah. Namun, gejala dapat bervariasi sebagai berikut:
  • Gejala umum: demam ringan-sedang, malaise, dan nyeri kepala;
  • Manifestasi spesifik (sesuai lokalisasi), seperti pilek, odinofagia, dispnea, maupun stridor;
  • Manifestasi lokal:
    • Nasal diphetheria (2%). Gejala mulai dari pilek ringan hingga produksi sekret purulen sanguinosa;
    • Tonsil dan faring (faucial diptheria), insidens sekitar 75%. Paling sering mengenai adenoid, uvula, dan palatum mole. Gejala mulai dari demam subfebris, pseudomembran, nyeri tenggorokan, odinofagia, disfagia, perubahan vokal suara, pembesaran kelenjar getah bening regional;
    • Laringotrakeal (25%). Apabila infeksi menyebar hingga ke faring. Infeksi yang berat dapat menimbulkan obstruksi saluran napas;
    • Cutaneous diphtheria, pada area aurikuler, konjungtiva, umbilikus, maupun vagina.

Pemeriksaan Penunjang
  • Penurunan hemoglobin dan eritrosit;
  • Leukositosis dengan kecenderungan shift to left;
  • Urinalisis; albuminuria ringan, ditemukan silinder hialin, hematuria, piuria.


Komplikasi
  • Kardiovaskular. Terjadi pada akhir minggu pertama atau awal minggu kedua.
    • Takikardia (pada awalnya), lalu terjadi inflamasi miokardium akut (bradikardia);
    • Abnormalitas elektrokardiogram: depresi ringan segmen ST, kadang disertai inversi gelombang T, gangguan konduksi (prognosis buruk);
    • Miokarditis. Bunyi jantung 1 melemah, hipertrofi jantung, irama gallop, murmur sistolik;
    • Syok kardiogenik, akibat kerusakan miokardium yang ekstensif;
    • Dekompensasi kordis.
  • Urogenital: nefritis.
  • Sistem saraf: paralisis palatum (perubahan suara, disfagia); paralisis otot oftaltalmik (tidak bisa membaca, strabismus, dilatasi pupil, ptosis); paralisis otot wajah, paralisis nervus frenikus (batuk, dispnea, pernapasa torakoabdominal, sianosis); sistem respirasi (obstruksi, bronko-pneumonia, atelektasis).
Diagnosis
Ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis, pemeriksaan preparat langsung atau kultur dari usap tenggorok untuk menemukan kuman, dan riwayat imunisasi.
Diagnosis Banding
  1. Untuk nasal diphtheria: corpus alienum, sifilis kongenital;
  2. Untuk faucial diphtheria: tonsilitis foliikularis angina platit vincent (penyakit stomatitis ulseromembranosa);
  3. Untuk laringitis diphtheria: laringitis akut, laringotraeitis, korpus alienum.
Tata Laksana
  • Tata laksana umum: isolasi pasien, tirah baring total, serta observasi terjadinya komplikasi.
  • Medikamentosa:
    • Antidiphtheria serum (ADS) 20.000 IU selama 2 hari. Cepat/lambatnya pemberian antitoksin sangat mempengaruhi mortalitas. Penundaan pemberian lebih dari 4 hari menimbulkan risiko mortalitas sebesar 25%. Sebelumnya wajib dilakukan uji kulit dikarenakan ADS dapat memicu reaksi anafilaktik dengan menyuntikan O, 1 mL dalam larutan garam fisiologis 1: 1000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi undurasi >10mm;
    • Antibiotik diberikan untuk mengeradikasi bakteri dan menghentikan produksi toksin. Penisilin Prokain (PP) 50.000-100.000 IU/KgBB;
    • Kortikosteroid: prednison 2 mg/KgBB/hari selama 2 minggu, lakukan tappering-off bila menghentikan steroid;
    • Apabila terjadi paralisis: strychinine 0,25 mg, vitamin Bl 100 mg selama 10 hari
  • Selain tirah baring, sangat dianjurkan untuk melakukan pemeriksaa EKG, pemeriksaan hematologi dan urinalisis setiap minggu.
Referensi
  1. Pudjiadi AH, Hegar B, Hardyastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED, penyunting. Pedoman pelayanan medis Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 201 1,
  2. Long SS. Diphtheria (corynebacterium diphteriae). Dalam: Kliegman RM, Stanton BM, Geme J, Schor N, Behrman RE, penyunting. Nelson's textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011.
  3. Sumarmo SPS, Herry G, Sri RSH, Hindra IS, penyunting, Buku ajar infeksi dan pediatri tropis. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2012.
 

CAMPAK (Cacar Air)

https://www.google.co.id/search?q=campak&biw=1366&bih=673&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0CAYQ_AUoAWoVChMIvP7krtf4yAIVoxymCh03Qgpn#imgrc=klVUk0yhoa4qyM%3A
Definisi dan Epidemiologi
Infeksi akut akibat infeksi virus campak. Penyakit ini sangat infeksius dengan transmisi utama melalui droplet. Angka kasus campak di Indonesia sejak tahun 1990 sampai 2002 masih tinggi, sekitar 3000-4000 per tahun. Penyakit ini paling banyak ditemui pada balita usia <1 bulan, lalu kelompok usia 1-4 tahun, dan usia 5-14 tahun.

Etiologi dan Patogenesis
Virus campak (measles atau rubeola) merupakan virus tipe paramyxovirus. Port d'entree virus ialah saluran pernapasan atas, kemudian ke kelenjar gentah bening regional, hingga penyebaran hematogen (darah). Secara patologi, monosit yang terinfeksi virus akan menyebarkan virus ke saluran respirasi, kulit, dan organ lainnya.

Tanda dan Gejala
    http://www.google.co.id/imgres?imgurl=https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhC_lBvR0w-eZFhZ_fhWTfc5tNOBXqYFSWgswpDZzCSXYTMJqiz-VpaAfG8CkCjEfhxf_qp7QXv04eeN8DEHkdCKMm26KkaaCgtT9id_RSpjkmwHCROJQdn_g7hpr0h31i0C1A3CZlGTVU/s1600/cmpk.jpg&imgrefurl=http://obatcampakherbal.blogspot.com/&h=916&w=1000&tbnid=V_TV3jKZq1oa6M:&docid=Gz--76U-e1h6tM&ei=kfg6VtzeLeS3mwXugo_QAw&tbm=isch&ved=0CB0QMygCMAJqFQoTCJzr95rV-MgCFeTbpgodbsEDOg
  • Masa inkubasi (10-12 hari)
  • Stadium prodromal (2-4 hari). Demam tinggi terus menerus (>= 38,50 C) yang disertai batuk, pilek, faring hiperemis, dan nyeri menelan, stomatitis, serta mata merah (konjungtivitis) dan fotofobia. Tanda patognomonik ialah enantema mukosa pipi di depan molar tiga, yang disebut sebagai bercak Koplik. Kadang-kadang stadium ini disertai juga dengan diare.
  • Stadium erupsi. Pada demam hari ke-4 atau 5, muncul ruam makulopapular, didahului oleh peningkatan suhu dari sebelumnya. Ruam secara bertahap muncul dari batas rambut di belakang telinga, lalu menyebar ke wajah, dan akhirnya ke ekstremitas. Ruam tersebut bertahan selama 5-6 hari.
  • Stadium penyembuhan. Setelah 3 hari, ruam berangsur-angsur menghilang sesuai urutan timbulnya. Ruam akan menjadi kehitaman (hiperpigmentasi) dan mengelupas, serta baru akan menghilang setelah 1-2 minggu. Penderita campak sangat infeksius sejak 1-2 hari sebelum stadium prodromal, hingga 4 hari setelah ruam menghilang.

Pemeriksaan Penunjang
Labortorium hematologi rutin: jumlah leukosit normal atau sedikit meningkat (apabila disertai infeksi sekunder), Pemeriksaan untuk komplikasi:

  • ensefalopati/ensefalitis (pemeriksaan cairan serebrospinal, analisis gas darah dan elektrolit);
  • enteritis (analisis feses lengkap); atau
  • bronkopneumonia (rontgen toraks dan analisis gas darah).
 
Diagnosis
Gejala klinis yang khas yaitu melalui 3 fase trias dapat ditegakkan secara klinis (demam, ruam, batuk, dan konjungtivitis, atau ditemukan bercak Koplik) dikonfirmasi dengan:

http://www.google.co.id/imgres?imgurl=https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjExb-6xXGILBWHzQjOhzAilZwfgwS84irwxJyLNaYTHS-xdDRDaJ9-FGkj0Twl5IHONcUK0R_kFcHLIcX3A_IY7ntJQeTymZgoTTDsJYMpANH5idgJPY-uy3zcJJKmIcF1VJuazMKuSZZR/s320/Obat%252BHerbal%252BPenyakit%252BCampak.jpg&imgrefurl=http://caraherbalmengobatigagalginjal.blogspot.com/2013/12/obat-herbal-penyakit-campak-pada-anak.html&h=320&w=320&tbnid=RdXS_2a46tgaSM:&docid=3TO_zSpio-3qcM&ei=kfg6VtzeLeS3mwXugo_QAw&tbm=isch&ved=0CDwQMygXMBdqFQoTCJzr95rV-MgCFeTbpgodbsEDOg
  1. identifikasi sel-sel besar multinukleus apusan mukosa nasal,
  2. isolasi virus untuk kultur,
  3. deteksi antibodi serum (pada fase akut dan penyembuhan).
 
Diagnosis Banding
Penyakit lainnya dengan karakterisik demam yang disertai ruam makulopapular: rubela, roseola, infeksi enteroviral atau adenovirus, infeksi mononukleosis, toksoplasmosis, meningokoksemia, demam skarlet, penyakit riketsia, sindrom Kawasaki, maupun akibat obat-obatan.
 
Tata Laksana
  • Suportif: tirah baring, hindari cahaya, serta pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat. Indikasi rawat inap: hiperpireksia, dehidrasi, kejang, asupan oral sulit, atau disertai komplikasi.
  • Pemberian vitamin A untuk usia «6 bulan sebanyak 50.000 IU, usia 6 bulan-l tahun sebanyak 100.000 IU, anak tahun sebanyak 200.000 IU. Apabila disertai gejala pada mata akibat kekurangan vitamin A atau gizi buruk, diberikan 3 kali; hari l, hari 2, dan 2-4 minggu setelah dosis kedua.
  • Pemberian antibiotik apabila terdapat infeksi sekunder.
  • Pemberian vaksin campak sebagai profilaksis pasca pajanan dapat diberikan pada individu imunokompromais atau dengan penyakit kronis, dalam 72 jam pasca pajanan. Alternatif lainnya ialah imunoglobulin dalam 6 hari pasca paparan.
  • Pada kasus dengan komplikasi:
    • Ensefalopati:
      • Kloramfenikol 75 mg/KgBB/hari dibagi 4 dosis clan ampisilin 100 mg/KgBB/hari dibagi 4 dosis selama 7-10 hari
      • Deksametason dengan dosis awai 1 mg/ KgBB/hari, dilanjutkan g/KgBB/hari dibagi dalam 3 dosis sampai kesadaran membaik. Pemberian yang melebihi 5 hari, lakukan tapering-off saat menghentikan terapi.
      • Kebutuhan cairan dikurangi sampai 3/4 kebutuhan, serta koreksi gangguan elektrolit
    • Bronkopneumonia:
      • Oksigen 2 liter/menit;
      • Kloramfenikol 75 mg/KgBB/hari dibagi 4 dosis dan ampisilin 100 mg/KgBB/hari dibagi 4 dosis selama 7-10 hari.
Komplikasi
  • Otitis media;
  • Pneumonia interstitial, terutama karena infeksi sekunder;
  • Miokarditis (jarang);
  • Limfadenitis mesenterika (jarang);
  • Ensefalitis akut atau ensefalomielitis (angka kejadian 1-2 kasus per 1000 kasus);
  • Subacute sclerosing panencephalitis. Degenerasi susunan saraf pusat akibat infeksi menetap campak dengan gejala deteriorisasi tingkah laku dan intelektual yang diikuti oleh kejang. Angka kejadiannya 1 per 25 ribu kasus campak, insidens tertinggi pada usia 8-10 tahun.
Referensi:
  1. Pudjiadi AH, Hegar B, Hardyastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED, penyunting. Pedoman pelayanan medis Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Jakarta: Badan penerbit IDAI; 2011.
  2. Maldonado Y. Measles. Dalam: Kliegman RM, Stanton BM, Geme J, Schor N, Behrman RE, penyunting. Nelson's textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011.
  3. Sumarmo SPS, Herry G, Sri RSH, Hindra IS, penyunting. Buku ajar infeksi dan pediatri tropis. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2012.

MUNTAH


Definisi 
Muntah berarti dikeluarkannya isi lambung secara ekspulsif melalui mulut dengan kontraksi otot dinding perut. Muntah pada bayi terutama harus dibedakan dengan regurgitasi, yaitu pengeluaran isi lambung secara ekspulsi tanpa kekuatan. 
Istilah lain yang berkaitan muntah adalah refluks gastroesofageal, yaitu kembalinya isi Iambung ke esofagus secara pasif akibat hipotoni sfingter 
esofagus, posisi abnormal sambungan esofaguskardia, atau lambatnya pengosongan isi Iambung. Jika isi lambung tersebut dikeluarkan dari mulut, maka disebut regurgitasi. Makanan yang diregurgitasi, kemudian dikunyah atau ditelan kembali disebut dengan ruminasi. 

Patogenesis 
Proses muntah dikendalikan oleh pusat muntah di sistem saraf pusat dengan aktivasi impuls dari 
chemoreceptor trigger zone (CTZ) lewat nervus vagus. 
Proses muntah terjadi dalam tiga tahap: nausea, retching, dan emesis. Nausea adalah sensasi ingin muntah akibat berbagai stimulus, ditandai rasa mual, gerakan peristaltik aktif berhenti, tekanan fundus dan korpus menurun, sedangkan di antrum-pars desenden duodenum tekanan akan meningkat. Lalu pada fase retching terjadi inspirasi dalam dengan gerakan otot napas spasmodik diikuti kontraksi otot perut dan diafragma, serta relaksasi sfingter esofagus bawah. 
Kemudian pada fase emesis, perubahan tekanan intratoraks menjadi positif dan sfingter esofagus akan relaksasi sehingga isi Iambung keluar dari mulut. 

Etiologi 
Penyebab tersering muntah pada anak ialah keadaan refluks, gastroenteritis, dan infeksi saluran kemih. Secara praktis, berdasarkan usia, etiologi muntah dapat dilihat pada Tabel. 

Tabel: Etiologi muntah pada anak berdasarkan usia
Manifestasi Klinis 
  • Anamnesis 
    • Usia anak, dapat membantu diferensial diagnosis (lihat Tabel); 
    • Pola mual/muntah: akut (episode pendek dan tiba-tiba), kronis (episode ringan dan sering, bulan; siklik (berulang, episode berat, diselingi periode asimtomatis); 
    • Awitan muntah dan riwayat: sejak lahir dan dengan riwayat keterlambatan mekonium (Morbus Hirschsprung), riwayat hidramnion (atresia esofagus); 
    • Pemicu muntah: bila muntah segera setelah makanan masuk mulut, pikirkan infeksi. Bila selalu terjadi pada keadaan tertentu, pikirkan psikogenik; 
    • Gejala penyerta: bila didahului nyeri perut dan 
    • kembung, pikirkan obstruksi saluran cerna. 
  • Pemeriksaan Fisis 


    1. Mulut: cari tanda infeksi, bercak putih (kandidosis oral), hipersalivasi (atresia esofagus); 
    2. Perut: gerakan peristaltik Iambung segera setelah minum (stenosis pilorus hipertrofik), distensi perut disertai ampula kolaps (morbus Hirschsprung), distensi perut dan bising usus meningkat di proksimal menurun di distal (obstruksi saluran cerna); 
    3. Anus: eritema perianal (intoleransi laktosa). 

  • Pemeriksaan Penunjang 

Laboratorium: kultur, darah, urin, C-reactive protein (CRP), analisis gas darah, kadar amonia, elektrolit, urinalisis (kecurigaan ISK) amilase dan lipase (kecurigaan pankreatitis), bilirubin dan SGOT/SGPT (kecurigaan hepatitis), cairan serebrospinal (kecurigaan infeksi intrakranial);
Radiologis (kasus bedah): Roentgen abdomen foto abdomen dengan kontras, USG, barium enema (kecurigaan morbus Hirschsprung); 
• Endoskopi (kecurigaan gastritis/ulkus). 

Tata Laksana 
  • Atasi keadaan dehidrasi dan kelainan metabolik akibat muntah; 
  • Cari penyebab muntah, konsultasi ke Departemen bedah jika ada kelainan organik; 
  • Atasi infeksi yang ada; 
  • Berikan dukungan nutrisi; 
  • Terapi medikamentosa, diberikan pada kasus muntah berlebihan, antara lain: 

    • Domperidon 0,25 mg/KgBB PO, 3 kali sehari, atau 
    • Prometazin 0,25-1 mg/KgBB PO, 4 kali sehari, bila perlu, atau 
    • Ondansetron O, 1 mg/KgBB IV, bila perlu, atau 
    • Dimenhidrinat 1,25 mg/KgBB IV, 4 kali sehari, atau
    • Namun, waspadai efek samping ekstrapiramidal dan sindrom Reye. 
  • Edukasi: pemberian minuman bertahap dengan cara yang benar, hindari makanan padat pada 6 jam pertama, berikan rasa nyaman (berbaring, turunkan suhu tubuh), hindari aktivitas berlebihan setelah makan. 
Komplikasi dan Indikasi Rawat Inap 
Dehidrasi, gangguan metabolik, gangguan elektrolit. 

Referensi
  1. Pudjiadi AH, Hegar B, Hardyastuti S, Idris NS, Gandaputra El), Harmoniati ED, penyunting. Pedoman pelayanan medis Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Jakarta: Bacaan Penerbit IDAI: 011.VVorld Health Organization (WHO), Pelayanan kesehatan anak di rumah sakit, pedoman bagi umah sakit rujukan tingkat pertama di kabupaten/kota 
  2. Sastroasmoro S, penyunting. Panduan pelayanan artemen kesehatan anak RSCM. Jakarta: RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo; 2007. 


KONSTIPASI ANAK

Definisi 
Konstipasi adalah kesulitan atau kelambatan pasase feses yang menyangkut konsistensi tinja dan frekuensi defekasi. Umumnya frekuensi kurang dari 3 kali peminggu dan konsistensi lebih keras dari 
biasanya, serta tinja berbentuk bulat, seperti pelet atau kotoran kambing. Keluhan berlangsung selama dua minggu atau lebih dan dapat menyebabkan stres pada pasien. 

Etiologi 
  • Fungsional (>90% kasus): retensi tinja, depresi, latihan defekasi yang salah, fobia toilet, enggan BAB di sekolah; 
  • Nyeri saat defekasi: fisura ani, benda asing, pelecehan seksual, pemakaian pencahar berlebihan, proktitis, prolaps rekti; 
  • Obstruksi mekanis: penyakit Hirschsprung, massa di pelvis, obstruksi usus bagian atas, stenosis rektum, atresia ani, ileus mekonium; 
  • Motilitas dan sensasi menurun: obat-obatan (antikolinergik, opiat), infeksi virus, penyakit neuromuskular (hipotoni, penyakit Werdnig-Hoffman, cerebral palsy), kelainan endokrin (hipotoni, hiperparatiroid, hiperkalsemi), botulisme infantil, tumor medula spinalis; 
  • Kelainan tinja: diet, dehidrasi, malanutrisi. 


Manifestasi Klinis 
1. Anamnesis 
  • Awitan gejala, dapat membantu membedakan antara penyebab anatomis (gejala sejak lahir) dengan fungsional (gejala mulai saat usia toilet training); 
  • Ekplorasi keluhan gastrointestinal: gejala nyeri dan distensi abdomen, riwayat tinja keras atau besar, episode kecipirit di antara tinja besar; 
  • Keluhan penyerta lainnya: anoreksia, berat badan sulit naik, upaya menahan tinja, inkontinensia urin, serta gejala-gejala infeksi saluran kemih (SK); 
  • Pola hidup: pola diet yang berubah (kurang sayur dan buah), riwayat minum obat-obatan, masalah psikis anak; 
  • Singkirkan kemungkinan penyakit lain, seperti: 
    • Hirschsprung: gejala ada sejak lahir, keterlambatan pengeluaran mekonium >48 jam, distensi yang prominen, demam, mual, muntah, penurunan berat badan, diare berdarah akibat enterokolitis, gagal tumbuh.; 
    • Hipotiroidisme: kelemahan tubuh, hambatan perkembangan, kulit kering, makroglosia, dan hernia umbilikalis. 

2. Pemeriksaan Fisik 
Perlu dicari adanya distensi abdomen dengan bising usus normal atau berubah; massa abdomen pada palpasi region kiri, kanan bawah, dan suprapubis; fisura ani; spina bifida di punggung; pemeriksaan colok dubur (pada penyakit Hirschsprung feses akan menyemprot); serta pemeriksaan neurologi (tonus, kekuatan, serta refleks kremaster dan tendon). 

Diagnosis 
Diagnosis konstipasi ditegakkan bila terdapat minimal dua dari kondisi berikut: 
  • Frekuensi defekasi dua kali atau kurang dalam seminggu tanpa pemberian pencahar; 
  • Dua kali atau lebih episode soiling/enkopresis setiap minggu; 
  • Terdapat periode pengeluaran feses dalam jumlah besar tiap 7-30 hari; 
  • Teraba massa abdominal (skibala) atau massa rektal pada pemeriksaan fisis. 

Istilah soiling yang dimaksud ialah pengeluaran feses secara tidak sadar dalam jumlah sedikit hingga 
mengotori pakaian dalam, sementara enkopresis ialah pengeluaran feses secara tidak sadar dalam 
jumlah besar. 

Pemeriksan Penunjang 
Dapat berupa uji darah samar tinja, urinalisis (jika ada gejala ISK), Roentgen abdomen, enema barium, biopsi hisap rektum (pada kecurigaan penyakit Hirschsprung), hingga manometri. 

Tata Laksana 
  • Konstipasi Fungsional (>90% kasus) 
  • 1. Evakuasi tinja. Pengeluaran skibala dengan obat oral atau per rektal (lebih dianjurkan per oral karena lebih tidak invasif dan tidak traumatik). Program evakuasi tinja dilakukan 3 hari berturut-turut agar evakuasi sempurna:
    • Per oral, dapat diberikan: minyak mineral 15-30 mL/tahun usia (kecuali pada bayi), polietilen glikol 20 mL/KgBB/jam (maksimal 1000 mL/jam) per NGT selama 4 jam/hari; 
    • Per rektal, dapat diberikan: enema fosfat hipertonik (3 mL/KgBB 1-2 kali/hari, maksimal 6 kali pemberian), enema garam fisiologis (600-1000 mL), mineral oil 120 mL. Pada bayi, gunakan supositoria/enema gliserin 2-5 mL. 
  • 2. Terapi rumatan. Terapi rumatan berikut mungkin diperlukan selama beberapa bulan, hingga anak memiliki pola defekasi teratur: 
    • Intervensi diet (banyak minum, konsumsi karbohidrat dan serat); 
    • Modifikasi perilaku dan toilet training, serta aktivitas fisis teratur; 
    • Pemberian laksatif (tidak diberikan pada bayi): polietilen glikol, laktulosa 1-3 mL/KgBB/hari dalam 2-3 kali pemberian, atau sorbitol 1-3 mL/KgBB/hari dalam 2-3 kali pemberian, atau mineral oil 1-3 mL/KgBB/hari. 
  • 3. Tata Laksana lainnya
a. Edukasi orang tua. Jelaskan bahwa tata laksana konstipasi membutuhkan proses dan waktu; 
b. Konsultasi. Penyebab psikogenik perlu dikonsul ke bagian psikiatri. Penyebab fungsional perlu melibatkan bagian rehabilitasi medik. 

Referensi; 
  1. Pudjiadi AH, Hegar B, Hardyastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED, penyunting. Pedoman pelayanan medis Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Jakarta: Badan Penerbit IDAI•, 2011. 
  2. World Health Organization (WHO). Pelayanan kesehatan anak di rumah sakit, pedoman bagi rumah sakit rujukan tingkat pertama di kabupaten/kota. Jakarta: WHO: 2009' 
  3. Sastroasmoro S, penyunting. Panduan pelayanan medis partemen kesehatan anak RSCM. Jakarta: RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo; 2007. 
  4. Kadim M. Konstipasi fungsional pada anak. Divisi hepatologi Departemen 11mu Kesehatan Anak FKUI/RSÃœPIN Dr. Cipto Mangunkusumo. Jakarta. 

DISENTRI ANAK


Definisi 
Disentri adalah diare yang disertai darah, terutama sebabkan oleh Shigella sp., dan memerlukan antibiotik untuk pengobatan. Disentri lebih lama sembuh dari diare akut cair dan dapat menyebabkan komplikasi serius, seperti gangguan pertumbuhan dan risiko kematian. 

Etiologi 

  • Sebagian besar kasus disebabkan oleh Shigella, khususnya S. flexneri dan S. dysenteriae tipe 1; 
  • Penyebab lainnya, antara lain Yersinia enterocolica, Campylobacter jejuni (terutama pada bayi), Salmonella sp., Eschericia coli enteroinvasif (jarang, tetapi berat), Entamoeba histolytica (jarang pada balita), serta amuba; 
  • Penyebab non-infeksi, antara lain invaginasi (gejala dominan lendir dan darah, kesakitan dan gelisah, massa intraabdominal dan muntah), alergi susu sapi, gangguan hematologi seperti defisiensi vitamin K, dan kelainan imunologis (Penyakit Crohn, kolitis ulseratif). 

Diagnosis 
Manifestasi Klinis 
BAB yang cair, frekuensi sering, dan disertai darah yang dapat dilihat dengan jelas. Feses hitam atau darah mikroskopis menandakan darah pada saluran cerna atas dan bukan diare berdarah. Pada beberapa episode, pertama-tama tinja cair kemudian menjadi berdarah setelah 1-2 hari. 
Selanjutnya dapat timbul gejala dan tanda komplikasi diare akut, seperti dehidrasi, gangguan pencernaan, dan kekurangan zat gizi. 

Pemeriksaan Penunjang 
Perlu dilakukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan tinja untuk mengidentifikasi trofozoit pada amuba dan Giardia sp. 

Tata Laksana 
1. Terapi Medikamentosa 

  • Antibiotik. Semua diare berdarah diobati sebagai shigellosis dan diberikan kotrimoksazol (trimetoprim 4 mg/KgBB dan sulfametoksasol 20 mg/KgBB PO dua kali sehari), bila di daerah tersebut masih sensitif. Jika dalam dua hari tidak membaik ganti antibiotik, yang sensitif terhadap Shigella sp. antara lain sefiksim (8 mg/KgBB PO selama 5 hari dosis tunggal) dan asam nalidiksat (55 mg/KgBB/hari terbagi 4 dosis untuk dosis awal, dilanjutkan 33 mg/ KgBB/hari terbagi 4 dosis lanjutan); 
  • Apabila terdapat amuba vegetatif pada pemeriksaan tinja, berikan metronidazol dengan dosis 50 mg/KgBB dibagi tiga dosis selama 5 hari; 
  • Jangan berikan Obat simtomatis untuk keluhan nyeri perut, nyeri anus, maupun untuk  mengurangi frekuensi BAB karena dapat memperburuk kondisi. Obat-obat tersebut bukti bermanfaat dalam mencegah dehidrasi maupun memperbaiki status gizi, sebaliknya berpotensi menimbulkan efek samping yang berbahaya hingga fatal; 
  • Sebagaimana diare akut, tangani dehidrasi, lanjutkan pemberian makan, dan berikan Zink; 
  • Pemantuaan ketat selama 24-48 jam. Evaluasi tanda perbaikan (demam hilang, BAB berkurang, nafsu makan meningkat), jika tidak membaik periksa ulang feses (kultur dan tes sensitivitas jika memungkinkan). 


2. Terapi Non-medikamentosa 
Lanjutkan pemberian makan. Pada anak usia <6 bulan, pemberian ASI diberikan lebih dari  frekuensi biasanya, bila memungkinkan. Pada anak usia 26 bulan, berikan makanan yang biasa diberikan, atau biarkan anak memilih makanan yang disukai. 

Indikasi Rawat Inap 
Anak dengan gizi buruk, bayi muda (<2 bulan), keracunan, letargis, perut kembung dan nyeri tekan, kejang, risiko sepsis. Selebihnya dapat menjalani rawat jalan. 

Komplikasi 
Perforasi usus, megakolon toksik, kekurangan kalium, demam tinggi, prolaps rekti, kejang, sindrom hemolitik-uremik, serta hiponatremi berkepanjangan. 

Referensi
1. Wyllie R. Clinical manifestations of gastrointestinal disease. Dalam: Kliegman RM, Stanton BM, Geme J, Schor N, Behrman RE, penyunting. Nelson's textbook of pediatrics. Edisi ke- 19. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011. 
2. Pudjiadi AH, Hegar B, Hardyastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED, penyunting. Pedoman pelayanan medis Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2011. 
3. World Health Organization (WHO). Pelayanan kesehatan anak di rumah sakit, pedoman bagi rumah sakit rujukan tingkat pertama di kabupaten/kota. Jakarta: WHO; 2009. 
4. Sastroasmoro S, penyunting. Panduan pelayanan medis departemen kesehatan anak RSCM. Jakarta: RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo; 2007. 
5. Kadim M. Disentri. Divisi Gastrohepatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Jakarta. 

Selasa, 27 Oktober 2015

DIARE ANAK


A. Diare Akut 

Definisi 
Perubahan konsistensi tinja yang terjadi tiba-tiba  akibat kandungan air di dalam tinja melebihi normal (10 mL/KgBB/hari) dengan peningkatan frekuensi defekasi lebih dari 3 kali dalam 24 jam dan berlangsung  kurang dari 14 hari. Pola defekasi neonatus dan bayi, hingga usia 4-6 bulan, yang defekasi kali/hari dan konsistensinya cair atau lembek masih dianggap normal selama tumbuh kembangnya baik. 

Etiologi 
  1. Infeksi: virus (rotavirus, adenovirus, norwalk), bakteri (Shigella sp., Salmonella sp., E. coli, Vibrio sp.), parasit (protozoa: E. hystolytica, G. lamblia, Balantidium coli; cacing: Ascaris sp., Trichuris sp., Strongyloides sp.; jamur: Candida sp.), infeksi ekstra usus (otitis media akut, infeksi saluran kemih, pneumonia). Terbanyak disebabkan rotavirus (20-40%); 
  2. Alergi makanan: alergi susu sapi, protein kedelai, alergi multipel; 
  3. Malabsorpsi: karbohidrat (intoleransi laktosa), lemak, dan protein; 
  4. Keracunan makanan (misalnya makanan kaleng akibat Botulinum sp.); 
  5. Lain-lain: obat-obatan (antibiotik atau Obat lainnya), kelainan anatomi. 

Pertimbangkan apakah diare termasuk primer (infeksi pada saluran cerna) atau sekunder (gejala ikutan dari penyakit sistemik, seperti bronkopneumonia, ensefalitis, dan sebagainya). 

Diagnosis 
  • Anamnesis 

Perlu ditanyakan deskripsi diare (frekuensi, lama diare berlangsung, warna, konsistensi tinja, adanya lendir/darah dalam tinja), adanya muntah, tanda dehidrasi (rasa haus, anak rewel/lemah, BAK terakhir), demam, kejang, jumlah cairan masuk, riwayat makan dan minum, penderita sekitar, pengobatan yang diterima, dan gejala invaginasi (tangisan keras dan bayi pucat). 
  • Pemeriksaan Fisis 

• Periksa keadaan umum, kesadaran, tanda vital, dan berat badan; 
• Selidiki tanda-tanda dehidrasi: rewel/gelisah, letargis/kesadaran berkurang, mata cekung, cubitan kulit perut kembali lambat (turgor abdomen), haus/minum lahap, malas/tidak dapat minum, ubun-ubun cekung, air mata berkurang/tidak ada, keadaan mukosa mulut; 
• Tanda-tanda ketidakseimbangan asam basa dan elektrolit: kembung akibat hipokalemia, kejang akibat gangguan natrium, napas cepat dan dalam akibat asidosis metabolik. 
  • Pemeriksaan Penunjang 

• Pemeriksaan tinja, namun tidak rutin dilakukan, kecuali ada tanda-tanda intoleransi laktosa dan kecurigaan amubiasis. Dapat dilakukan secara makroskopis, mikroskopis, maupun kimiawi; 

Tabel l. Klasifikasi Diare pada Anak Berdasarkan Derajat Dehidrasi 
Klasifikasi
Tanda dan Gejala
Dehidrasi Berat 
(kehilangan cairan berat badan) 
Dua atau lebih tanda berikut: 
·         Kondisi umum lemah, letargis/tidak sadar 
·         Ubun-ubun besar, mata sangat cekung 
·         Malas minum/tidak dapat minum 
·         Cubitan perut kembali sangat lambat (>=2detik) 

Dehidrasi Ringan-Sedang 
(kehilangall cairan 5-10% berat badan) 

Dua atau lebih tanda berikut: 
·         Rewel, gelisah, cengeng 
·         Ubun •ubun besar, mata sedikit cekung 
·         Tampak kehausan, minum lahap 
·         Cubitan perut kembali lambat 

Tanpa Dehidrasi 
(kehilangan cairan <5% berat badan) 
Tidak ada cukup tanda untuk diklasifikasikan ke dua kriteria di atas. 

• Dehidrasi berat: elektrolit serum, analisis gas darah, nitrogen urea, kadar gula darah. 
Klasifikasi Diare (lihat Tabel 1) 

Tata Laksana 
Pada prinsipnya ada lima pilar tata laksana diare  menurut WHO: 
1) Rehidrasi; 
2) Dukungan nutrisi, 
3) Pemberian antibiotik sesuai indikasi, 
4) Pemberian Zink, dan 
5) Edukasi pada orang tua. Berikut alur tatalaksana diare sesuai derajat dehidrasinya. 

Diare Akut Dehidrasi Berat 
• Rehidrasi intravena, 100 cc/KgBB cairan ringer laktat atau ringer asetat (jika tidak ada, gunakan salin normal) dengan ketentuan berikut:


Pertama berikan 30 cc/KgBB dalam;
Selanjutnya 70cc/KgBB dalam;
Umur <12 bulan
1 Jam
5 Jam
Umur >= 12 bulan
30 Menit
2,5 Jam

Diikuti rehidrasi oral jika sudah dapat minum, dimulai 5cc/KgBB/jam selama proses rehidrasi; 
○ Periksa kembali status hidrasi anak setiap 15-30 menit, klasifikasikan ulang derajat dehidrasi setelah 3 jam (untuk anak) atau 6 jam (untuk bayi). Tata laksana selanjutnya diberikan sesuai derajat dehidrasi tersebut; 
○ Jika tidak ada fasilitas intravena, pasang pipa nasogastrik dan beri 20cc/KgBB/jam selama 6 jam atau rujuk segera ke rumah sakit. 

Diare Akut Dehidrasi Ringan-Sedang 
• Pasien dipantau di puskesmas/rumah sakit; 
• Berikan larutan oralit dalam waktu 3 jam pertama sebanyak 75cc/KgBB, ajarkan ibu memberi oralit sedikit-sedikit tapi sering (small but frequent) dengan sendok teh, cangkir, mangkok, atau gelas. Bila anak muntah tunggu 10 menit, lalu lanjutkan dengan lebih lambat; 
• Lanjutkan pemberian ASI; 
• Periksa kembali dan klasifikasikan ulang setelah 3 jam. 

Diare Akut Tanpa Dehidrasi 
Dapat dilakukan terapi rawat jalan dengan empat aturan perawatan di rumah sebagai berikut (juga berlaku untuk diare dengan dehidrasi setelah perawatan): 
• Beri cairan tambahan, seperti ASI, yang lebih sering dan lama. Jika anak tidak memperoleh ASI eksklusif, berikan oralit, air matang, atau cairan makanan (kuah sayur, air tajin). Pada kasus diare dengan dehidrasi, berikan 6 bungkus oralit (@200cc), berikan 100 cc tiap kali BAB
• Beri tablet Zink selama 10-14 hari, yaitu 1/2 tablet (1'0 mg)/hari untuk anak usia '6 bulan dan 1 tablet (20 mg)/hari untuk anak usia bulan. Zink berrnanfaat untuk menurunkan frekuensi BAB dan memperbaiki volume tinja, mengurangi lama diare, serta menurunkan kejadian diare pada bulan-bulan berikutnya; 
• Beri makanan segera setelah anak dapat makan. Lanjutkan pemberian makan atau ASI, dengan pola sedikit tapi sering (sekitar 6 kali/ hari)
• Edukasi kapan harus kembali (jika keadaan anak memburuk, tidak dapat/malas minum, timbul demam, timbul darah dalam tinja, tidak membaik setelah 5 hari). 

Terapi Lainnya: 
• Antibiotik tidak digunakan secara rutin dan hanya bermanfaat pada anak dengan diare berdarah (disentri), suspek kolera, dan infeksi berat lain yang tidak berhubungan saluran pencernaan. Penggunaan antibiotik tidak rasional akan mengganggu keseimbangan flora usus sehingga memperpanjang diare menjadi persisten, mempersulit penyembuhan, dan meningkatkan kemungkinan penularan. Selain itu juga menyebabkan resistensi kuman terhadap antibiotik; 
• Obat antiprotozoa jarang digunakan; 
• Obat-obatan antidiare tidak boleh diberikan pada anak karena tidak mencegah dehidrasi maupun  meningkatkan status gizi anak, namun memiliki efek samping berbahaya hingga fatal; 
• Probiotik dapat bermanfaat mempersingkat lama diare pada anak dan mencegah diare pada bayi; 
• Vaksin rotavirus menimbulkan imunogenitas yang baik pada anak dan efek samping yang rendah,  diberikan sebelum usia 6 bulan dalam 2-3 kali pemberian dengan interval 4-6 minggu. 

Langkah Promotif/Preventif: 
(l) ASI tetap diberikan; 
(2) Menjaga kebersihan perorangan, cuci tangan sebelum makan; 
(3) Menjaga kebersihan lingkungan, BAB di jamban; 
(4) Imunisasi campak; 
(5) Memberikan makanan penyapihan yang benar; 
(6) Penyediaan air minum bersih, serta 
(7) Makanan yang selalu dimasak secara adekuat. 

Komplikasi 
berat 
Dehidrasi, gangguan elektrolit, penurunan badan, gagal tumbuh, serta diare yang lebih berat dan sering terjadi. 

B. Diare Persisten 

Definisi 
Diare persisten adalah diare akut dengan atau tanpa disertai darah dan berlanjut sampai 14 hari atau lebih. 

Faktor Risiko 
Usia bulan, lahir prematur, kondisi malanutrisi, tidak mendapat ASI, penyakit komorbid, dan anemia. 

Etiologi 
Untuk mengetahui etiologi diare persisten, perlu ditentukan apakah diare tergolong osmotik atau sekretorik, misalnya dengan memuasakan pasien selama 24 jam. Pada diare osmotik, diare akan berkurang atau berhenti; demikian sebaliknya untuk diare sekretorik: 

Diare osmotik: intoleransi laktosa sekunder, cow's milk protein sensitive enteropathy (CMPSE), 
sindrom malabsorpsi; 
Diare sekretorik: bacterial overgrowth, antibiotic-induced, infeksi persisten (Shigella sp., Cryptosporidium sp., E. coli, serta infeksi virus, jamur, dan parasit). 

Setiap anak dengan diare persisten perlu diperiksa kemungkinan infeksi di luar usus, seperti pneumonia, sepsis, infeksi saluran kencing, sariawan mulut, dan otitis media. 

Diagnosis 
Diare persisten memiliki tanda dan gejala yang serupa dengan diare akut. Namun karena diare bersifat berlanjut, maka perlu dilakukan identifikasi etiologi yang mendasari (lihat Gambar 1). 

Tata Laksana 
Terapi cairan sesuai derajat dehidrasi (seperti klasifikasi pada diare akut). Atasi kelainan asam basa dan gangguan elektrolit jika terjadi; 
Pemberian diet sesuai usia dan status gizi. Pada perawatan di rumah sakit, setidaknya diberikan 110 Kal/KgBB/hari. ASI tidak dihentikan; 
Suplementasi mikronutrien Zink selama 10 hari untuk regenerasi mukosa usus, dengan dosis sebagai berikut: 
  • Anak usia «6 bulan: 10 mg atau 1/2 tablet perhari; 
  • Anak usia 26 bulan: 20 mg atau 1 tablet perhari; 

Tata laksana spesifik sesuai etiologi yang mendasari: 

Kasus infeksi: antibiotik sesuai hasil identifikasi bakteri penyebab. Berikan metronidazol 50 mg/Kg PO dibagi 3 dosis selama 5 hari untuk kasus amubiasis dan giardiasis, atau metronidazol 30 mg/KgBB dibagi 3 dosis untuk kasus Clostridium dificile. Pada kasus infeksi Klebsiela sp. atau E. coli patogen, berikan antibiotik sesuai hasil uji sensitivitas; 
Kasus intoleransi laktosa: berikan formula/diet bebas laktosa; 
Kasus alergi susu sapi: teruskan ASI dan hindari makanan dari susu sapi; 
Kasus malabsorpsi: berikan makanan atau formula elemental secara oral atau parenteral
Kasus antibiotic-induced: hentikan antibiotik dan berikan probiotik selama 7-10 hari; 
Evaluasi keberhasilan pengobatan: asupan makanan cukup, penambahan berat badan, diare berkurang, tidak ada demam. 

Indikasi Rawat 
Anak mengalami gizi buruk, atau disertai tanda- tanda dehidrasi berat (lihat Bab Diare Akut). 

Komplikasi 
Dehidrasi, syok hipovolemik, hipokalemia, hipoglikemia, kejang, malanutrisi energi protein. 

Referensi
l. Wyllie R. Clinical manifestations of gastrointestinal disease. Dalam: Kliegman RM, Stanton BM, Geme J, Schor N, Behrman RE, penyunting. Nelson's textbook of pediatrics. Edisi ke- 19. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011 
2. Pudjiadi AH, Hegar B, Hardyastuti S, NS, EP, Harmoniati ED, penyunting. Pedoman pelayanan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Jakarta: Badan penerbit IDAI; 2011. 
3. World Health Organization (WHO). Pelayanan anak di rumah sakit, pedoman bagi rumah sakit rujukan tingkat pertama di kabupaten/kota. Jakarta: WHO: 2009 
4. Sastroasmoro S, penyunting. Panduan pelayanan medis departemen kesehatan anak RSCM. Jakarta: RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo; 2007. 
5. Kadim M. Disentri. Divisi Gastrohepatologi Departemen limu Kesehatan Anak FKUI/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Jakarta.