A. Definisi Body Farming
Istilah body farming berasal dari 2 buah kata yaitu body dan farm. Menurut Marhiyanto dan Arifin (1998), kata body memiliki pengertian tubuh (tubuh mayat) dan farm memiliki pengertian ladang, kebun atau tanah pertanian. Body farming adalah suatu proses penyediaan fasilitas penelitian khususnya pada bidang ilmu antropologi forensik berupa laboratorium terbuka yang berisi puluhan hingga ratusan mayat manusia dan diletakkan di alam terbuka. Tujuan dilakukan body farming adalah untuk mempelajari mekanisme terjadinya dekomposisi (pembusukan) pada tubuh manusia pada kondisi yang berbeda-beda, sehingga didapatkan informasi terkait proses dan waktu kematian mayat (Killgrove, 2015).
B. Gambaran Proses Body Farming
1. Sejarah body farm
Pembuatan body farm pertama kali dilakukan oleh seorang konsultan forensik Dr. William M. Bass di Universitas Tennesse, Knoxville, Amerika Serikat pada tahun 1981. Penyebab pembuatanbody farm tersebut akibat tidak adanya tempat yang sesuai untuk mengamati proses dekomposisi pada mayat. Dua puluh lima tahun kemudian mulai dibuat beberapa body farm lain di Carolina University pada tahun 2006, Texas State University pada tahun 2008, Sam Houston State University pada tahun 2010, Southern Illinois University, Carbondale pada tahun 2012, Colorado Mesa University pada tahun 2013, dan masih dalam proses pembangunan di University of Technology, Sydney pada tahun 2015 (Killgrove, 2015).
2. Prosedur dilakukannya body farming
Proses pembuatan body farm meliputi persiapan lahan, pencarian obyek penelitian (mayat manusia), proses penelitian, dan proses pencatatan hasil penelitian.
a. Pembuatan lahan (farming)
Pembuatan body farm dilakukan di lahan terbuka (pertama kali di lahan peternakan) tanpa mengubah kondisi alam yang sebenarnya. Kondisi alam meliputi komponen tumbuhan, hewan, struktur tanah, kelembapan dan cuaca tetap dipertahankan sesuai dengan kondisi aslinya. Akses terhadap body farm terbatas pada peneliti dan pihak-pihak terkait yang memiliki kepentingan, sehingga diberikan batas-batas wilayah pada body farm agar tidak dapat diakses oleh masyarakat umum yang tidak berkepentingan (Bass dan Jefferson, 2008).
b. Donasi mayat (human donation)
Dalam body farm, mayat yang digunakan sebagai obyek penelitian adalah mayat yang masih dalam kondisi utuh dan segar. Mayat didapatkan dari proses donasi orang-orang yang ingin mengabdikan tubuhnya atau tubuh keluarganya sebagai obyek penelitian. Proses donasi dapat dilakukan sesuai dengan persetujuan mayat pada waktu hidup atau persetujuan keluarga korban yang pada umumnya terjadi pada kasus pembunuhan, dimana pihak keluarga sadar bahwa donasi mayat yang akan dijadikan penelitian tersebut akan membantu pihak kepolisian terutama CSI (Crime Scene Investgation) dalam mengungkap kejahatan yang pernah terjadi pada mayat tersebut. Donasi mayat dilakukan tanpa adanya proses transaksi (Bass dan Jefferson, 2008).
c. Penelitian di laboratorium body farm
Mayat-mayat hasil donasi kemudian diletakkan di berbagai titik yang memiliki kondisi alam berbeda di setiap titiknya. Sebagai contoh mayat pertama diletakkan di atas tanah dengan paparan matahari, mayat kedua diletakkan di dalam air, dan mayat yang lainnya diletakkan pada tempat yang berbeda-beda. Selanjutnya dilakukan penelitian aktivitas dekomposisi pada mayat meliputi aktivitas serangga, perubahan anatomi yang terjadi pada tubuh mayat serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses dan waktu terjadinya dekomposisi meliputi suhu, kelembapan, kondisi fisik tubuh, usia, penyebab kematian, dll. Aktivitas serangga pada proses pembusukan mayat dapat menentukan perkiraan kematian mayat (Killgrove, 2015).
d. Pencatatan data hasil penelitian
Tahapan selanjutnya dari proses body farming adalah pencatatan hasil penelitian dan pengamatan. Perubahan-perubahan yang terjadi diobservasi, didokumentasi, dan dikategorikan sesuai kategori. Hasil penelitian akan dijadikan sumber data yang akan menjadi dasar panduan para penegak hukum dalam mengungkap kapan terjadinya kematian yang dikaitkan dengan kasus pembunuhan atau bunuh diri (Killgrove, 2015).
3. Bagan Prosedur Body Farming
C. Dilema Etik Body Farming Ditinjau dari Sisi Medis
Proses body farming akan banyak menimbulkan dilema dari berbagai sudut pandang. Salah satunya adalah dari sudut pandang medis atau kedokteran yang dikaitkan dengan prinsip bioetik kedokteran. Berdasarkan Konsil Kedokteran Indonesia, terdapat 4 prinsip dasar etika kedokteran (bioetika) meliputi beneficence yang berarti memberikan perlakuan dan manfaat terbaik pada pasien, non-malficeneyang berarti tidak menyakiti dan memperburuk pasien, justice yang berarti adil terhadap semua pasien dan autonomy yang berarti menghormati martabat dan otonomi pasien (Hanafiah, 1999). Ditinjau dari dasar etika kedokteran (bioetik), body farm mengedepankan prinsip boietik berupa beneficence baik bagi mayat yang bersatus sebagai pasien, keluarga mayat maupun bagi banyak orang di masa mendatang. Prinsip beneficence pada body farming menitikberatkan pada ilmu pengetahuan antropologi forensik khususnya tentang dekomposisi atau pembusukan mayat. Dengan adanya proses body farming akan diketahui berbagai mekanisme perubahan tubuh mayat setelah mengalami kematian, dimana mekanisme perubahan tersebut dapat digunakan untuk menentukan waktu kematian mayat secara lebih akurat, sehingga dapat memberikan kejelasan bagi keluarga mayat tentang kematian korban. Selanjutnya dapat dijadikan sebagai dasar ilmu pengetahuan untuk memecahkan berbagai kasus forensik khususnya kasus pembunuhan yang belum mendapatkan penyelesaian yang jelas (Bass dan Jefferson, 2008). Di samping itu, body farming juga mengedepankan prinsip autonomy, yaitu menghormati otonomi dan martabat pasien. Prinsip autonomy ini diterapkan khususnya pada proses human donation. Proses donasi mayat dilakukan sesuai dengan permintaan mayat pada waktu hidup atau sesuai dengan persetujuan keluarga terdekat mayat secara sukarela berdasarkan surat perjanjian tertentu dengan tujuan semata-mata untuk kepentingan ilmu pengetahun forensik dan hukum. Dengan adanya body farming khususnya pada kasus-kasus kriminal (pembunuhan) dapat dilakukan upaya penegakan hak-hak asasi dari mayat maupun pihak keluarga. (Killgrove, 2015).
D. Dilema Etik Body Farming Ditinjau dari Sisi ekono-sosio kultural
Prinsip body farming juga masih menimbulkan dilema dilihat dari sisi hukum yang dikaitkan dengan ranah ekonomi, sosial dan kultural. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat atau Jaringan Tubuh Manusia (hukum.unsrat.ac.id) , disebutkan bahwa :
1. Bab IV. Museum Anatomis dan Patologi Pasal 9 :
“Untuk kepentingan pendidikan, penyelidikan penyakit, dan pengembangan ilmu kedokteran diadakan museum anatomis dan patologi yang diatur oleh Menteri Kesehatan”.
Berdasarkan pasal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pembuatan body farm boleh dilakukan karena body farm merupakan fasilitas laboratorium yang digunakan untuk kepentingan pendidikan dan pengembangan ilmu kedokteran.
2. Bab VIII. Perbuatan yang Dilarang Pasal 17 :
“Dilarang memperjual belikan alat atau jaringan tubuh manusia.” Alat dan atau jaringan tubuh manusia sebab anugerah Tuhan Yang Maha Esa kepada setiap insan tidaklah dijadikan obyek untuk mencari keuntungan.
Berdasarkan pasal tersebut di atas, proses human donation tidak boleh diperantarai dengan adanya transaksi atau jual beli dari pihak yang berhak atas mayat dan pihak yang akan menggunakan mayat. Oleh karena itu, proses jual beli mayat yang dilakukan pada body farm dapat melanggar pasal 17 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat atau Jaringan Tubuh Manusia dan akan mendapatkan ketentuan pidana Pasal 20 yang berbunyi :
“(1) Pelanggaran atas ketentuan dalam Bab II, Bab III, Bab V, Bab VI, Bab VII, dan Bab VIII diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 7.500 ,- (tujuh ribu lima ratus rupiah).”
“(2) Disamping ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat pula diambil tindakan administratif.”
3. Bab VIII. Perbuatan yang Dilarang Pasal 19 :
“Larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 18 tidak berlaku untuk keperluan penelitian ilmiah dan keperluan lain yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.”
Pasal tersebut di atas bertolak belakang dengan Pasal 17 yang melarang memperjual belikan alat atau jaringan tubuh manusia kecuali untuk penelitian ilmiah dan keperluan lain yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Namun, konteks penelitian ilmiah dan keperluan lain ini tidak jelas diuraikan, sehingga masih ada kerancuan antara Pasal 17 dan 19 terkait adanya body farming.
Dari sisi sosial-kultural, body farming tidak sesuai dengan kultur budaya masyarakat Indonesia pada umumnya. Hampir di sebagian besar daerah di Indonesia, orang yang sudah dinyatakan meninggal dunia akan segera dikuburkan sesuai dengan tuntunan agama masing-masing. Tidak ada perlakuan pada mayat yang dibiarkan begitu saja dan ditunggu hingga mengalami proses pembusukan.
E. Dilema Etik Body Farming Ditinjau dari Perspektif Islam
Sesuai dengan syariat islam, dalam fiqih islam terdapat kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan pada mayat (Muhammad, 2002), yaitu :
1. Memandikan mayat
Memandikan mayat hukumnya fardhu kifayah bagi orang yang hidup. Apabila sebagian dari mereka melakukannya, maka gugurlah kewajiban tersebut dari yang lain. Syarat-syarat mayat wajib dimandikan adalah :
a. Mayat tersebut merupakan seorang muslim.
b. Mayat tersebut bukan merupakan anak yang gugur (lahir dalam keadaan mati).
c. Badan mayat masih ada sebatas ukuran adanya.
d. Mayat tersebut bukan seorang yang mati syahid.
2. Mengkafani mayat
Setelah mayat dimandikan, berikutnya adalah mengkafani mayat. Mengkafani mayat tidak boleh kecuali dengan sesuatu bahan yang boleh dipakai ketika hidup. Mengkafani mayat menggunakan kain kafan yang diwajibkan suci dan dimakruhkan berlebih-lebihan.
3. Mensholatkan mayat
Setelah mayat dikafani, selanjutnya dilakukan proses sholat jenazah. Proses sholat jenazah dilakukan mulai dari niat sholat, empat kali takbir termasuk takbiratul ihram, dan doa untuk mayat.
4. Menguburkan mayat
Kewajiban terakhir orang hidup terhadap mayat adalah menguburkannya dengan kedalaman liang kubur adalah sebatas dapat mencegah terciumnya bau mayat dan mencegah kemungkinan dibongkarnya kuburan oleh binatang. Mayat dikuburkan dengan posisi dimiringkan menghadap arah kiblat.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, merupakan suatu kewajiban bagi mayat seorang muslim untuk dimandikan, dikafani, disholatkan dan dikuburkan sesuai dengan syariat islam. Pada kasus body farming, mayat hanya dibiarkan diletakkan di atas tanah atau bahkan di dalam air hingga terjadi proses pembusukan secara alami sehingga dalam jangka waktu lama mayat akan terurai. Prinsip body farming ini bertolak belakang dengan syariat (fiqih) islam mengenai perlakuan terhadap mayat.
F. Pendapat Terkait Penyelesaian Dilema Etik Body Farming
Beragamnya dilema etik yang muncul pada kasus body farming masih menjadikan body farming menjadi isu etik dalam penelitian kedokteran. Terkait dengan penyelesaikan dilema etik pada kasus tersebut, body farming diperbolehkan untuk dilakukan dilihat dari sisi ilmu pengetahuan yang akan memberikan manfaat bagi kemaslahatan umat. Namun perlu diperhatikan beberapa hal terkait perlakuan pada mayat khususnya mayat yang beragama islam (muslim), meliputi :
1. Proses donasi mayat harus didasarkan atas permintaan mayat semasa hidupnya dan atau keluarga terdekat dan harus dituliskan dalam sebuah dokumen.
2. Proses donasi mayat berdasarkan sukarela tanpa adanya proses transaksi atau jual beli.
3. Mayat harus diperlakukan sebaik mungkin (tidak boleh diperlakukan dengan kasar dan semena-mena). Hal ini sesuai dengan hadist Rasulullah SAW : “Kematian yang paling ringan ibarat sebatang pohon penuh duri yang menancap di selembar kain sutera. Apakah batang pohon duri itu dapat diambil tanpa membawa serta bagian kain sutera yang tersobek?” (HR. Bukhari).
4. Ketika proses penelitian pada mayat telah selesai dilakukan, merupakan suatu kewajiban bagi orang yang masih hidup untuk memperlakukan mayat sesuai dengan syariat (islam) meliputi memandikan, mengkafani, mensholatkan dan menguburkannya secara layak walaupun bagian tubuh mayat sudah dalam keadaan tidak utuh.
|
Sumber : www.google.com |
G. Kesimpulan
Body farming merupakan suatu langkah untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang kedokteran dan kesehatan yang hingga saat ini masih menjadi dilema etik kedokteran. Banyak pendapat-pendapat yang saling bertolak belakang mengenai prinsip body farming. Di satu sisi mayat merupakan makhluk Allah yang harus dihormati dan harus dilakukan kewajiban-kewajiban terhadap mayat, namun di sisi lain mayat harus diperlakukan sedemidikan rupa sebagai media penelitian dan media penegak hukum agar terciptanya ilmu kedokteran yang lebih baik demi kepentingan bersama. Oleh karena itu, body farming harus dilaksanakan sesuai dengan hukum peraturan negara dan syariat agama yang berlaku.
Daftar Pustaka
Anonim, 2015, PP 18/1981 Bedah Mayat Klinis Dan Bedah Mayat Anatomis Serta Transplantasi Alat Atau Jaringan Tubuh Manusia, www.hukum.unsrat.ac.id (diakses tanggal 20 Desember 2015)
Bass, B., Jefferson J, 2008, Beyond The Body Farm, Quercus, London.
Hanafiah, J., Amir, A., 1999, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, EGC,
Jakarta.
Juneman, 2013, Isu Etik dalam Penelitian di Bidang Kesehatan, Asosiasi Ilmu
Forensik Indonesia, Jakarta.
Killgrove, K., 2015, These 6 “Body Farms” Help Forensic Anthropologists Learn
Muhammad, A., 2002, Fikih, Grafindo Media Pratama, Jakarta.